Jumat, 16 Juli 2010

DUALISME DAN DIKOTOMI PENDIDIKAN DI INDONESIA

DUALISME DAN DIKOTOMI PENDIDIKAN

DI INDONESIA

Oleh : Bubun Sihabul Millah

A. Pendahuluan

Dualisme adalah dua prinsip yang saling bertentangan[1]. Secara terminologi dualisme dapat diartikan sebagai dua prinsip atau paham yang berbeda dan saling bertentangan.

Sedangkan dikotomi yang dalam bahasa Inggris adalah dichotomy adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian.[2] Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian dua kelompok yang saling bertentangan.[3] Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam[4].

Dalam kontek pendidikan Marwan Sarijo[5] menyatakan bahwa istilah dualisme dan dikotomi memiliki makna yang sama yaitu pemisahan antara pendidikan umum dari pendidikan agama. Dengan pemaknaan di atas, dualisme dan dikotomi pendidikan adalah pemisahan sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan atau ilmu umum. Dualisme dan dikotomi ini, bukan hanya pada tataran pemilahan tetapi masuk pada wilayah pemisahan, dalam operasionalnya pemisahan mata pelajaran umum dengan mata pelajaran agama, sekolah umum dan madrasah, yang pengelolaannya memiliki kebijakan masing-masing.

Di Indonesia, bidang pendidikan ditangani oleh dua departemen yakni Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Dalam pelaksanaannya Departemen Pendidikan Nasional membawahi lembaga pendidikan mulai TK, SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi Umum. Sedangkan Departemen Agama mengurusi lembaga pendidikan dari RA, MI, MTs, MA, hingga Perguruan Tinggi Agama Islam (UIN/IAIN/STAIN) dan PTAIS.[6] Menyikapi manajemen pendidikan seperti itu, menghadirkan pemahaman adanya dualisme dan dikotomi penyelenggaraan pendidikan, yakni adanya sekolah umum dan sekolah agama. Kedua lembaga penyelenggara pendidikan tersebut semua diakui sah dan merupakan bagian sistem pendidikan nasional.

Adanya dikotomi dan dualisme pendidikan tidak lepas dari aspek sejarah dan kebijakan pendidikan yang telah berkembang di Indonesia sehingga untuk memahaminya dapat menggunakan pendekatan sejarah dan kebijakan pendidikan. Untuk itu dalam makalah ini penulis akan mengkaji akar permasalahan munculnya dualisme dan dikotomi pendidikan di Indonesia yang ditinjau secara historis dan ditinjau dari segi kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan upaya pengintegrasian pendidikan umum dengan pendidikan agama.

B. Tinjauan Historis Dualisme dan Dikotomi Pendidikan di Indonesia

Tidak ada yang menyangkal bahwa dualisme maupun dikotomi dari sistem pendidikan di Indonesia, yaitu pendidikan umum di satu pihak dan pendidikan agama dipihak lain adalah merupakan warisan dari zaman kolonial Belanda.[7]

Orang-orang Belanda beserta keluarganya memerlukan pendidikan dan latihan baik mengenai pengetahuan umum maupun pengetahuan khusus tentang Indonesia, disamping itu VOC memerlukan juga tenaga-tenaga pembantu (murah) dari penduduk pribumi. Kepada mereka perlu diberikan pendidikan sedikitnya untuk menjalankan tugasnya.[8] Hal ini juga dimaksudkan agar kekuasaan dan misionarisnya dapat berjalan dengan sukses dan lancar. Sudah barang tentu sekolah-seolah tersebut didirikan dengan berbagai kriteria dan variasinya secara diskriminatif yang bertujuan untuk mempertahankan perbedaan sosial, mengkristenkan masyarakat pribumi dan menjadikan rakyat sebagai pegawai atau pekerja kasar atau murahan.[9]

Oleh karena itu, kalaulah pada akhirnya Belanda membuka kesempatan pendidikan bagi rakyat pribumi, tetapi tujuannya tidak lain membentuk kelas elit dan menyiapkan tenaga terdidik sebagai buruh rendah/kasar.[10] Pemerintah menanamkan dualisme dalam pendidikan yaitu dengan adanya sekolah untuk anak Belanda dan untuk anak pribumi (pendidikan Islam), sekolah untuk orang yang berada dan untuk yang tak berada, sekolah yang memberi kesempatan untuk melanjutkan pelajaran dan yang tidak memberi kesempatan. Pendeknya pendidikan hanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan perbedaan sosial, bukan untuk mobilitas sosial.[11]

Pemerintah Belanda menerapkan pengawasan dan kontrol yang sangat ketat dan kaku, kontrol yang ketat ini dijadikan alat politik untuk menghambat dan bahkan menghalang-halangi pelaksanaan pendidikan Islam,[12] dengan membentuk suatu badan yang khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut Priesnterraden.

Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi pendidikan Islam adalah penerbitan Ordonansi Guru. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari pemerintah. Tidak setiap orang, meskipun ahli ilmu agama, dapat mengajar di Lembaga-lembaga pendidikan.[13] Dalam perkembangannya, Ordonansi Guru itu sendiri mengalami perubahan dari keharusan guru adama mendapatkan surat izin menjadi keharusan guru agama itu cukup melapor dan memberitahu saja.[14] Peraturan ini mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam, Al-Irsyad, Nahdatul Watan dan lain-lain.[15] Pada tahun-tahun itu memang sudah terasa adanya ketakutan dari pemerintah Belanda terhadap kebangkitan pribumi.[16]

Selain Ordonansi Guru, pemerintah Belanda mengeluarkan pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah yang disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie). Selain itu untuk lingkungan kehidupan agama Kristen di Indonesia yang selalu menghadapi reaksi dari rakyat, dan untuk menjaga sekolah umum yang kebanyakan muridnya beragama Islam, maka pemerintah mengeluarkan peraturan yang disebut netral agama.[17] Seperti yang dinyatakan pada Indische Staatsregeling bahwa pendidikan umum adalah netral, yang berarti pengajaran diberikan dengan menghormati keyakinan masing-masing.[18] Namun disekolah umum untuk kalangan pribumi, pada HIS dan MULO diberikan pelajaran agama Islam, secara sukarela sekali dalam seminggu bagi murid-murid yang berminat atas persetujuan orang tuanya.[19]

Pemerintah Belanda sendiri yang melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan bagi pribumi, membentuk dua lembaga, yaitu Departemen van Onderwijst en Eerendinst untuk mengawasi pengajaran agama di sekolah umum dan Departemen van Binnenlandsche Zaken untuk pendidikan Islam dilembaga pendidikan Islam.[20] Kebijakan pemerintah kolonial yang memarjinalkan aspirasi dan kepentingan kalangan muslim menjadi cikal bakal terciptanya dualitas pengaturan negara terhadap berbagai masalah yang berhubungan dengan kepentingan kalangan muslim. Hal tersebut terutama tergambar dari dualitas dalam sistem pendidikan dan sistem peradilan.[21] Dibidang pendidikan, sikap netral terhadap pendidikan agama yang menjadi kebijakan pemerintah Belanda didalam praktik diikuti oleh aturan yang dipandang oleh kalangan muslim sebagai usaha mengebiri aspirasi keagamaan mereka. Dibidang peradilan yang berkaitan dengan penerapan syariat dan ketentuan hukum Islam di dalam kehidupan keluarga muslim, pemerintah Belanda membentuk lembaga peradilan tersendiri yang terpisah dari lembaga peradilan umum, yaitu dengan dibentuknya Mahkamah Syari’ah.[22]

Pada satu sisi kebijakan tersebut melahirkan kondisi psikologis “sebagai warga kelas dua” dikalangan muslim. Kondisi ini diperparah oleh kenyataan lahirnya pengelompokkan sosial masyarakat Indonesia sebagai produk dari dualitas sistem pendidikan dan peradilan, yaitu disatu pihak adalah kelompok muslim yang merasa perlu terus memperjuangkan aspirasi dan kepentingan keagamaannya dalam proses kehidupan bernegara. Dilain pihak adalah kelompok yang merupakan produk dari sistem pendidikan Barat di sekolah-sekolah Belanda yang mempunyai pandangan “sekuler” atau netral terhadap agama, bahwa agama merupakan urusan pribadi yang terpisah dari urusan publik dan urusan agama.[23]

Kebijakan yang kurang menguntungkan terhadap pendidikan Islam masih berlanjut pada masa penjajahan Jepang. Walaupun diakui lebih memberikan kebebasan daripada penjajahan Belanda, tetapi kebijakan dasar pemerintahan penjajahan Jepang berorientasi pada penguatan kekusasaannya di Indonesia,[24] dan pendidikan Islam di zaman Jepang adalah sebuah usaha untuk membantu kelangsungan perang Asia Timur Raya, sehingga eksploitasi kemanusiaan benar-benar terjadi.[25]

Untuk memperoleh dukungan dari umat Islam, pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan yang menawarkan bantuan dana bagi sekolah dan madrasah. [26] Selain itu untuk mengamankan kepentingannya, pemerintah Jepang banyak mengangkat kalangan priyayi dalam jabatan-jabatan di Kantor Urusan Agama, yang bertugas antara lain mengorganisasikan pertemuan dan pembinaan guru-guru agama. Meskipun dengan alasan pembinaan kecakapan, tetapi usaha itu pada dasarnya bertujuan agar pelaksanaan pendidikan Islam baik di madrasah maupun pesantren tetap dalam kontrol pemerintah.[27]

C. Dualisme dan Dikotomi : Telaah Kebijakan Pemerintah Dalam Pendidikan

Kebijakan negara di bidang pendidikan merupakan produk dari sebuah proses politik yang melibatkan berbagai elemen politik yang ada di lembaga legislatif dan eksekutif. Mereka yang terlibat di dalam proses pengambilan kebijakan negara dan keputusan politik adalah orang-orang yang diberi mandat untuk mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat dan masyarakat luas. Sebagai produk dari keputusan politik, kebijakan negara di bidang pendidikan merupakan cermin dar politik pendidikan nasional yang memberikan implikasi terhadap sistem, kelembagaan, kurikulum dan proses pendidikan.[28]

Pada masa-masa awal kemerdekaan, Indonesia mengembangkan lembaga pendidikan persekolahan sebagai mainstraim sistem pendidikan nasional. Secara pragmatis, hal ini dilakukan agaknya karena pengelolaan pendidikan yang diwariskan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian pergumulan antara sistem pendidikan ‘nasional dengan sistem pendidikan Islam pun terus berlangsung.[29]

Secara operasional, persoalan dualisme dan dikotomi pendidikan tersebut membawa dampak berupa pengelolaan pendidikan nasional yang tidak punya dasar pijakan yang jelas. Hal ini terjadi karena dalam pelaksanaannya pemerintah Indonesia menganut pola kolonialisme Belanda,[30] juga merupakan refleksi dari pergumulan dua basis politik, Islam dan Nasionalisme, yang sejak awal kemerdekaan tidak bisa dielakkan.[31]

Ketika undang-undang pendidikan nasional pertama yaitu, UU No. 4 Tahun 1950 (tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah) diundangkan, madrasah dan pesantren sebagai pendidikan Islam tidak dimasukan sama sekali ke dalam sistem pendidikan nasional, yang ada hanya masalah pendidikan agama yang diajarkan di sekolah (umum)[32], pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem dari sistem pendidikan nasional, tetapi merupakan lembaga pendidikan di bawah Menteri Agama.[33] Menurut pemerintah hal ini disebabkan karena sistem pendidikan Islam lebih didominasi oleh muatan-muatan agama, yang menggunakan kurikulum belum terstandarkan, memiliki struktur yang tidak seragam, dan memberlakukan manajemen yang kurang dapat dikontrol oleh pemerintah.[34]

Masalah kurikulum merupakan salah satu pertimbangan dalam pemberian pengakuan pemerintah terhadap sekolah agama, sebab sekolah agama dan lembaga pendidikan Islam umumnya lebih memfokuskan kurikulumnya pada tafaqqahu fiddin, yang difokuskan pada bidang keislaman. Masalah kurikulum pendidikan ini yang menjadi salah satu pembeda sistem pendidikan yang berlangsung. Disamping itu administrasi berupa pengaturan dan pengawasan pendidikan oleh dua departemen yang berbeda, yaitu departemen pendidikan nasional dan departemen agama juga menjadi faktor pembeda yang lain.[35]

Pada tahun 1974, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang kewenangan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di bawah satu pintu, yaitu oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pendidikan agama. Keputusan itu diikuti oleh Inpres No. 15 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut. Ternyata keputusan ini mendapat tantangan keras dari kalangan Islam.[36] Alasannya bahwa dengan menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional memang madrasah akan mendapat status yang sama dengan sekolah, tetapi dengan status ini terdapat kongkurensi bahwa madrasah harus dikelola oleh Depdikbud sebagai satu-satunya departemen yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional. Mereka lebih menghendaki madrasah tetap berada di bawah Departemen Agama.[37]

Bahkan sebagian umat Islam memandang Kepres dan Inpres tersebut sebagai manuver untuk mengabaikan peranan dan manfaat madrasah,[38] juga dipandang sebagai langkah untuk mengebiri tugas dan peranan Departemen Agama dan bagian dari upaya sekulerisasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Hal ini cukup beralasan dikaitkan dengan setting sosial politik yang berlangsung pada awal pemerintah Orde Baru yang menerapkan kebijakan politik yang memarjinalkan politik Islam melalui pengebirian partai politik Islam.[39]

Munculnya reaksi keras dari umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru. Pemerintah kemudian mengambil kebijakan yang lebih operasional dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pada tanggal 24 Maret 1975, yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama[40] yaitu No. 6 Tahun 1975; No. 037/U/1975; dan No. 36 Tahun 1975. Inti dari ketetapan dari SKB Tiga Menteri ini adalah ; (1) agar madrasah untuk semua jenjang dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat; (2) agar lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat dan lebih atas; (3) agar siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat, maka kurikulum yang diselenggarakan madrasah harus terdiri dari 70% mata pelajaran umum dan 30% mata pelajaran agama.[41]

Sebagai realisasi dari SKB Tiga Menteri itu, maka pada tahun 1976 Departemen Agama mengeluarkan kurikulum yang menjadi acuan oleh madrasah, baik untuk MI, MTs, maupun Madrasah Aliyah.[42] Dengan diberlakukannya kurikulum standar yang menjadi acuan, berarti telah terjadi keseragaman dalam bidang studi agama, baik kualitas maupun kuantitasnya. Kemudian adanya pengakuan persamaan yang sepenuhnya antara madrasah dengan sekolah-sekolah umum setaraf, serta madrasah akan mampu berperan sebagai lembaga pendidikan yang memenuhi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mampu berpacu dengan sekolah-sekolah umum dalam rangka mencapai tujuan nasional.[43]

Kemudian pada tahun 1984 dikeluarkan SKB dua menteri antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama Nomor 299/U/1984 dan Nomor 45 tahun 1984 tentang pengaturan pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah. SKB ini dijiwai oleh ketetapan MPR Nomor II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya penyesuaian sistem pendidikan sejalan dengan kebutuhan pembangunan disegala bidang, antara lain dilakukan melalui perbaikan kurikulum sebagai salah satu diantara berbagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dan madrasah.[44]

Namun hasil dari SKB ini belum memuaskan, Secara intelektual, persoalan muncul dengan adanya dikotomisasi kurikulum, yakni kurikulum umum dan kurikulum agama. Akibatnya, terjadi pula dikotomisasi kelulusan antar dua lembaga. Lebih parah lagi ditinjau dari sisi keahlian, adanya dikotomisasi itu seakan-akan telah menciptakan label Islam dan label non-Islam terhadap kelulusan pendidikannya.[45] Selain itu karena masih sering lulusan madrasah mendapat perlakuan diskriminatif karena dianggap kemampuan umumnya belum setara dengan sekolah umum. Ketika masuk ke perguruan tinggi atau ke dunia kerja perlakuan diskriminatif tersebut sangat dirasakan oleh lulusan madrasah sebagai produk pendidikan Islam.[46]

D. Integrasi Pendidikan Agama dan Umum : Solusi Atas Dualisme dan Dikotomi Pendidikan di Indonesia

Selanjutnya, ada upaya pemerintah untuk mengintegrasikan dualisme pendidikan. Sebagai bagian dari proses pencarian rumusan sistem pendidikan nasional yang lebih utuh, dimana pergumulan itu secara bertahap menghasilkan penyesuaian-penyesuaian yang cukup signifikan melalui proses yang panjang dan kerap kali menimbulkan ketegangan politik diantara eksponen yang berbeda pandangan.[47] Kecenderungan untuk menyintesiskan dua kutub pendidikan nasional Perlahan namun pasti, dualisme dan dikotomi antara madrasah dan sekolah umum mulai pudar. Fenomena itu terlihat, terutama seklai setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 28 dan 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, serta diberlakukannya Kurikulum 1994, dimana madrasah berubah statusnya menjadi sekolah berciri khas Islam.[48]

Dr. Mochtar Naim menilai Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional – untuk selanjutnya disingkat UUSPN - tidak berpikir dalam konteks upaya untuk menyatukan pendidikan di Indonesia. Bagi mereka yang menginginkan integrasi total baik sistem maupun dari segi pengelolaan, barangkali memang menganggap UUSPN masih mempertahankan status-quo.[49] Terlepas dari berbagai penilaian apakah UUSPN tetap melestarikan status quo atau tidak, isi UUSPN telah meletakkan dasar-dasar yang kuat yang dapat dijadikan tolak ukur untuk mendekatkan berbagai kutub pendidikan yang dualistis dan dikotomis di Indonesia.[50]

Salah satu titik penyesuaian itu terletak pada cakupan sistem pendidikan yang komprehensif. Hal ini sesuai dengan yang ditekankan UUSPN pasal 1 butir 3 yang menyiratkan secara tegas, bahwa yang disebut dengan sistem pendidikan nasional adalah satu keseluruhan terpadu dari semua satuan, jenis dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan yang lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional.[51] Dengan demikian, termasuk ke dalam bagian dari sistem pendidikan nasional itu adalah lembaga pendidikan keagamaan.[52]

Penyesuaian lain terjadi pada kurikulum pendidikan nasional yang menempatkan agama sebagai salah satu muatan wajib dalam semua jalur dan satuan pendidikan. Hal ini memberi jaminan adanya komitmen keagamaan (religiusity) dalam pendidikan nasional sehingga tidak sepenuhnya bersifat sekuler. Meskipun dalam kenyataanya lembaga persekolahan tetap merupakan mainsteam dari sistem pendidikan nasional, tetapi pengajaran agama di dalam pendidikan itu merupakan kewajiban kurikuler.[53]

Akan tetapi kenyataan ini tidak dapat menghilangkan paradigma dualisme dan dikotomi pengelolaan yang selama ini melingkupi pendidikan nasional. Dikotomi atau dualisme itu mengabsahkan dua wilayah yang berhadap-hadapan secara vis-a-vis. Dalam artian, Departemen Agama sebagai otoritas pengelolaan pendidikan agama berhadapan dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan selaku pengelola pendidikan umum.[54]

Dampak dari kenyataan tersebut dapat dirasakan bahwa meskipun Madrasah yang dikelola oleh Departemen Agama secara intuisi pendidikan telah diakui oleh UUSPN No. 2 Tahun 1989 sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, namun perwujudan makna pengakuan tersebut masih belum sesuai dengan jiwa undang-undang tersebut. Hal ini dapat dilihat dari alokasi anggaran untuk pembinaan dan pengembangan mutu madrasah belum sebanding dengan anggaran yang diberikan kepada sekolah-sekolah yang berada dalam naungan Depdiknas.[55] Dengan perhatian pemerintah yang tidak seimbang antara kedua lembaga pendidikan tersebut, maka sangat logis bila kemudian mutu pendidikan agama Islam, khususnya madrasah ada di bawah pendidikan umum asuhan Depdiknas.[56]

Selain itu otonomi daerah sesuai dengan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menjadikan pergeseran paradigm dari sistem pemerintahan yang bercorak sentralistik mengarah kepada sistem pemerintahan yang desentralistik.[57] Undang-undang tersebut telah menimbulkan perubahan besar, bukan hanya dalam pemerintahan dan birokrasi, tetapi juga dalam bidang pendidikan.[58] Pendidikan umum yang berada di bawah naungan Depdiknas (dulu Depdikbud) ikut mengalami desentralisasi, sementara pendidikan agama yang berada di bawah naungan Departemen agama masih belum jelas; apakah tetap berada di bawah koordinasi dan pengawasan pusat, atau juga didesentralisasikan, berada di bawah pengawasan, koordinasi wewenang pemerintah daerah.[59]

Pada UU No. 22 Tahun 1999 padal 7 ayat (1) menyatakan bahwa weewenang daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya. Di lain pihak pada pasal 11 ayat (2) menyatakan bahwa pendidikan dan kebudayaan salah satu dari 11 bidang yang wajib dilaksanakan daerah kabupaten dan daerah kota.[60] Pertanyaan yang muncul dari penafsiran terhadap dua pasal di atas adalah apakah madrasah termasuk dalam bidang pendidikan ataukah bidang agama ? disini muncul dua pendapat :

Pertama ; yang mengatakan bahwa pendidikan agama dan pendidikan lain yang diasuh Departemen Agama tidak diotonomikan sebagaimana maksud pasal 7 ayat (1) dari UU No. 22 Tahun 1999. Ini berarti pendidikan di Departemen Agama dikatagorikan sebagai bagian dari sistem agama, bukan bagian dari sistem pendidikan nasional.

Kedua ; yang mengatakan bahwa pendidikan agama dan pendidikan yang dikelola Departemen Agama adalah bagian dari sistem pendidikan nasional. Karena pendidikan diotonomikan, maka pendidikan di lingkungan Departemen Agama juga harus diotonomikan. [61]

Departemen Agama dihadapkan pada dua pilihan sulit ; (1) tetap melakukan pembinaan madrasah secara sentralistik, yaitu langsung di bawah aungan departemen Agama; atau (2) menyerahkan pembinaan madrasah kepada pemerintah sebagai konsekwensi logis dari pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan.[62] Pilihan mana yang akan diambil oleh Departemen Agama jelas akan mengandung konsekwensi dan dampak masing-masing. Tetapi, terlepas dari pilihan mana yang akan diambil, semangat dan proses otonomi dan desentralisasi - suka atau tidak suka – mempengaruhi keseluruhan sistem pendidikan agama.[63]

Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, adalah hal yang wajar dan logis, sebab Undang-Undang lama (UU Nomor 2 Tahun 1989) menurut Anwar Arifin, “sudah tidak sesuai dengan otonomi daerah yang digulirkan lewat UU No. 22 Tahun 1999 dan UU tersebut juga sarat dengan hegemoni pemerintah terhadap pendidikan.[64]

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 telah mengakomodasi prinsip otonomi daerah dan mengantisifasi persaingan global. Salah satu prinsip yang mendasar dari prinsip otonomi yang diakomodasi adalah adanya pengakuan terhadap otonomi sekolah, di samping penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat serta pembedaaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. Karena ini karena adanya tuntutan untuk diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam berbangsa dan bernegara.[65]

Selain itu dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari amanat UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Dalam pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa standar nasional pendidikan adalah criteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.[66] Hal tersebut adalah untuk menjembatani mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.[67]

Undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut telah memberi peluang yang sama untuk mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak ada diskriminasi di mata negara, sehingga diharapkan dapat menjembatani dualisme dan dikotomi dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia.

E. Kesimpulan

Istilah dualisme dan dikotomi memiliki makna yang sama yaitu pemisahan antara pendidikan umum dari pendidikan agama. Dualisme dan dikotomi ini, bukan hanya pada tataran pemilahan tetapi masuk pada wilayah pemisahan, dalam operasionalnya pemisahan mata pelajaran umum dengan mata pelajaran agama, sekolah umum dan madrasah, yang pengelolaannya memiliki kebijakan masing-masing oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama.

Sistem pendidikan nasional Indonesia pada awalnya diakui sebagai bentuk sistem yang terbentuk dari sistem pendidikan yang dualistik antara pendidikan umum dan pendidikan agama (Islam). Dualisme itu sendiri pada awalnya merupakan produk penjajahan Belanda namun sampai batas tertentu juga merupakan refleksi dari pergumulan dua basis politik, Islam dan Nasionalisme.

Bentuk dualisme dan dikotomi pendidikan itu dapat dilihat dari kebijakan pemerintah baik dari kebijakan dalam undang-undang pendidikan nasional, Peraturan Pemerintah. Dengan demikian pergumulan antara sistem pendidikan nasional dengan sistem pendidikan Islam pun terus berlangsung, melalui proses yang panjang lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang diharapkan mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat yang dapat dijadikan tolak ukur untuk mendekatkan berbagai kutub pendidikan yang dualistis dan dikotomis di Indonesia.

Akan tetapi kenyataan ini tidak dapat menghilangkan paradigma dualisme dan dikotomi pengelolaan yang selama ini melingkupi pendidikan nasional. Departemen Agama sebagai otoritas pengelolaan pendidikan agama berhadapan dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan selaku pengelola pendidikan umum sehingga muncul persoalan adanya dikotomisasi kurikulum, diskriminasi lulusan, kebijakan moneter yang tidak seimbang dan lain-lain

Dengan UU. No. 20 Tahun 2003 dan PP. No. 19 Tahun 2005 diharapkan mampu prinsip otonomi yang diakomodasi adalah adanya pengakuan terhadap otonomi sekolah, di samping penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat serta pembedaaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. Undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut telah memberi peluang yang sama untuk mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak ada diskriminasi di mata negara, sehingga diharapkan dapat menjembatani dualisme dan dikotomi

DAFTAR PUSTAKA

Ali Riyadi, Politik Pendidikan Menggugat BirokrasiPendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006)

Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekontruksi dan Demokratisasi, (Jakarta : Kompas, 2006)

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, "Dualisme", Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1989)

E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Sebuah Panduan Praktis, (Bandung : Rosdakarya 2008)

Husni Rahim, arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000),

John M. Echols dan Hassan Shadily, "dichotomy", Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia Utama, 1992),

Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999)

Marwan Saridjo, Bunga Rampa Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco, 1996)

Maslani, Jurnal Media Pendidikan, (Bandung : Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD Bandung, 2007) Vol XXII

Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991), hlm. 104.

Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: PT RajaGradindo Persada, 2009)

Sumarsono Mestoko, PendidikanIndonesia dari Jaman ke Jaman, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1979)

Suwito, Fauzan, Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara, Studi Perkembangan Sejarah dari Abad 13 hingga Abad 20 M, (Bandung: Angkasa: 2004)

Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentan Pendidikan (Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2006)

Usman Abu Bakar dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Safira Insan Press, 2005)

UU No. 2 Tahun 1989 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Yuyun Yulianingsih, Jurnal Media Pendidikan (Bandung : Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD Bandung, 2007) Vol XXII

Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 2008)



[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, "Dualisme", Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), cet. 2, hlm. 214..

[2] John M. Echols dan Hassan Shadily, "dichotomy", Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia Utama, 1992), hlm. 180.

[3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit. hlm. 205

[4] Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991), hlm. 104.

[5] Marwan Saridjo, Bunga Rampa Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco, 1996), hlm. 22

[6] Lihat UU No. 2 Tahun 1989 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

[7] Marwan Saridjo, Bunga Rampa Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco, 1996), hlm. 22

[8] Sumarsono Mestoko, PendidikanIndonesia dari Jaman ke Jaman, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1979), hlm 41

[9] Suwito, Fauzan, Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara, Studi Perkembangan Sejarah dari Abad 13 hingga Abad 20 M, (Bandung: Angkasa: 2004), hlm159

[10] Ibid, hlm 161

[11] Ibid, hlm 164

[12] Suwito, Fauzan, Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara, Studi Perkembangan Sejarah dari Abad 13 hingga Abad 20 M, (Bandung: Angkasa: 2004), hlm. 164

[13] Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm 115

[14] Ibid

[15] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 2008), cet. IX, hlm. 149

[16] Ibid, hlm. 149

[17] Ibid, hlm 150

[18] Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: PT RajaGradindo Persada, 2009), hlm. 125

[19] Husni Rahim, arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), hlm. 57

[20] Ibid, hlm. 55

[21] Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: PT RajaGradindo Persada, 2009), hlm. 133

[22] Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: PT RajaGradindo Persada, 2009), hlm. 132

[23] Ibid, hlm. 133

[24] Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm 118

[25] Suwito, Fauzan, Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara, Studi Perkembangan Sejarah dari Abad 13 hingga Abad 20 M, (Bandung: Angkasa: 2004), hlm. 164

[26] Maksum, Op. Cit, hlm, 115

[27] Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm 119

[28] Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: PT RajaGradindo Persada, 2009), hlm. 193

[29] Husni Rahim, Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005), hlm. 59

[30] Ali Riyadi, Politik Pendidikan Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm. 81

[31] Husni Rahim, Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005), hlm. 113

[32] Ibid, hlm. 17

[33] Ibid

[34] Ali Riyadi, Politik Pendidikan Menggugat BirokrasiPendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm. 82

[35] Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: PT RajaGradindo Persada, 2009), hlm. 183

[36] Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: PT RajaGradindo Persada, 2009), hlm. 184

[37] Husni Rahim, Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005), hlm. 18

[38] Ibid

[39] Nurhayati Djamas, Op. Cit, hlm. 184

[40] Husni Rahim, Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005), hlm. 18

[41] Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: PT RajaGradindo Persada, 2009), hlm. 185

[42] Maslani, dalam Media Pendidikan, Jurnal Pendidikan Keagamaan (Bandung : Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD Bandung, 2007) Vol XXII, No. 2, hlm. 301

[43] Ibid

[44] Ibid, hlm 304

[45] Ali Riyadi, Politik Pendidikan Menggugat BirokrasiPendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm. 83

[46] Husni Rahim, Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005), hlm 20

[47] Ali Riyadi, Politik Pendidikan Menggugat BirokrasiPendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm. 82

[48] Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekontruksi dan Demokratisasi, (Jakarta : Kompas, 2006), hlm. 71

[49] Marwan Saridjo, Bunga Rampa Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco, 1996), hlm. 28

[50] Marwan Saridjo, Bunga Rampa Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco, 1996), hlm 29

[51] Ali Riyadi, Politik Pendidikan Menggugat BirokrasiPendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm. 84

[52] Husni Rahim, Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005), hlm 59

[53] Ibid

[54] Ali Riyadi, Politik Pendidikan Menggugat BirokrasiPendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm. 84

[55] Husni Rahim, Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005), hlm. 1

[56] Ali Riyadi, Politik Pendidikan Menggugat BirokrasiPendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm. 79

[57] Husni Rahim, Op. Cit, hlm. 2

[58] Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekontruksi dan Demokratisasi, (Jakarta : Kompas, 2006), hlm. 95

[59] Ibid

[60] Husni Rahim, Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005), hlm. 2

[61] Ibid, hlm. 2-3

[62] Ibid

[63] Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekontruksi dan Demokratisasi, (Jakarta : Kompas, 2006), hlm. 95

[64] Yuyun Yulianingsih, Jurnal Media Pendidikan (Fak. Tarbiyah UIN SGD Bandung, 2007) Vol. XXII, hlm. 287

[65] Usman Abu Bakar dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Safira Insan Press, 2005), hlm. 91-91

[66] Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentan Pendidikan (Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2006)

[67] E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Sebuah Panduan Praktis, (Bandung : Rosdakarya 2008), cet. Ke-5, hlm. 44

4 komentar:

  1. terima kasih tulisan ini membantu saya

    BalasHapus
  2. jazakallah khairon....

    BalasHapus
  3. ini makalah atau jurnal pak????

    BalasHapus
  4. PlayCasino.Com - Casino Finder
    Find the BEST CASINO.COM casinos 의왕 출장마사지 online. 고양 출장안마 Play now and get a 거제 출장안마 100% match bonus up to $2000! Read 오즈포탈 all about CASINO.COM 제주도 출장샵 casino reviews and information!

    BalasHapus