Sabtu, 17 Juli 2010

ASBABUN NUZUL

Oleh : Bubun Sihabul Millah

A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kitab suci kaum muslimin dan menjadi sumber ajaran Islam yang pertama dan utama yang harus di imani dan aplikasikan dalam kehidupan, agar kita memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Karena itu, tidaklah berlebihan jika selama ini kaum muslimin tidak hanya mempelajari isi dan pesan-pesannya. Tetapi juga telah berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga otentitasnya.
Upaya untuk menjaga keotentikan Al-Qur’an telah dilaksanakan sejak Nabi Muhammad Saw masih berada di Mekkah dan belum berhijrah ke Madinah hingga saat ini, dengan kata lain upaya tersebut telah mereka laksanakan sejak al-Qur’an diturunkan hingga saat ini.
Pada mulanya al-Qur’an diturunkan untuk tujuan umum, namun kehidupan para shahabat bersama Rosulallah telah banyak menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi diantara mereka peristiwa yang khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rosulallah untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal tersebut. Maka Qur’an turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul tersebut. Hal seperti itulah yang dinamakan dengan Asbab an-nuzul.
Mengerti Asbab an-nuzul sangat banyak manfaatnya. Karena itu tidak benar orang-orang mengatakan, bahwa mempelajari dan memahami sebab-sebab turun al-Qur’an itu tidak berguna, dengan alasan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’an itu telah masuk dalam ruang lingkup sejarah.

B. Pengertian Asbab an-nuzul
Asbab an-nuzul merupakan ungkapan bentuk idhafat dari kata asbab dan nuzul. Kata asbab , berarti alasan atau sebab. Sedangkan kata nuzul artinya turun (dari atas ke bawah). Tetapi pengertian seperti itu (turun dari atas ke bawah) menurut Al-Zarqani, tidak lazim dan tidak tepat bagi pengertian Al-Qur’an. Pengertian tersebut lebih tepat dan lazim digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan materi yang memiliki berat jenis tertentu, sedangkan al-Qur’an bukanlah yang demikian, baik berupa kalam lafzhiy maupun nafsiy. Oleh karena itu pengertian nuzul bagi al-Qur;an harus diberikan pengertian secara metamorfosis (majaz).
Al-Zarqani menganggap bahwa pengertian nuzul termasuk kepada majaz al-isti’arah al-tasrihiyyah, yakni dengan menyamakan pemberitahuan “atasan” kepada bawahan”. Oleh karena itu penetapan kata nuzul dan sejenisnya tidak dimaksudkan untuk memberi kesan bahwa al-Qur’an nuzul dari atas, tetapi al-Qur’an bersumber dari Zat Yang Agung yang berkedudukan Maha Tinggi.
Secara etimologi, Asbab an-nuzul adalah sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu, atau juga berarti sebab-sebab turun ayat. Dalam pengertian sederhana tersebut, turunnya ayat disebabkan oleh suatu peristiwa, maka tanpa adanya peristiwa itu ayat tersebut tidak akan turun. Jika memang seperti itu pengertiannya, tidaklah sesuai dengan hakikat Al-Qur’an itu sendiri, sebab ayat itu sudah ada dan lengkap di Lauh Mahfuzh diciptakan oleh Allah. Turunnya ayat tentunya tidak diikat atau dihukum oleh alam yang berbentuk peristiwa itu, kemudian hal itu juga tidak sesuai dengan sifat Allah yang Mahakuasa. Allah tidak terikat dengan alam atau makhluk dalam menyampaikan rencana dan kehendak-Nya.
Dalam hal ini dapat dilihat dari pengertian secara istilah yang dikemukakan oleh Az-Zarqani, yang menyatakan :
مَا نَزَلَتِ الاَيَةُ أَوِالاَيَاتُ مُتَحَدِّثَةً عَنْهُ أَوْمُبَيِّنَةً لِحُكْمِ وُقُوْعِهِ
Dari pengertian ini bahwa ayat yang turun tidak di disebabkan oleh peristiwa yang terjadi, tetapi peristiwa itu hanya sebagai suatu kasus yang dapat menjelaskan makna ayat. Atau ayat yang turun itu dapat memberi penjelasan pada peristiwa yang menjadi kasus itu, sehingga kalau ada kasus yang sama atau mirip dengan itu, dapat pula dikenai penjelasan ayat itu. Sebenarnya dapat dipahami pula bahwa walaupun tidak ada peristiwa ketika itu, ayat itu akan turun juga untuk menjelaskan sesuatu yang mungkin akan terjadi.
Meskipun demikian segala fenomena yang melatar belakangi sesuatu dapat disebut asbab an-nuzul, dalam pemakaiannya, ungkapan Asbab an-nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatar belakangi turunya al-Qur’an, karena sudah umum digunakan oleh para ahli ilmu tafsir. Bahkan penggunaan istilah ini sudah berkembang dalam berbagai tulisan dan uraian. Meskipun Asbab an-nuzul itu satu bagian saja dari ilmu tafsir, Asbab an-nuzul sudah mengarah menjadi ilmu yang berdiri sendiri dengan nama istilah Ilmu Asbab an-nuzul. Dengan pengertian penggunaan istilah asbab an-nuzul yaitu ilmu-ilmu yang membahas peristiwa-peristiwa yang terjadi, yang ada hubungannya dengan turunnya ayat Al-Qur’an, yang dapat dijadikan kasus dalam penjelasan ayat.
Menurut terminologi, seperti yang diungkapkan oleh Subhi Shalih misalnya menta’rifkan (ma’na) sababun nuzul ialah:
مَا نُزِلَةِ الأَيَةُ اَوِ الآيَاتُ بِسَبَبِهِ مُتَضَمِّنَةً لَهُ أَوْ مُجِيْبَةً عَنْهُ أَوْ مُبَيِّنَةً لِحُكْمِهِ زَمَنَ وُقُوْعِهِ.
“Sesuatu yang menjadi sebab turun sebuah ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan untuk menerangkan hukumnya; pada masa terjadinya peristiwa itu.”
Menurut Mana’ Al-Qaththan Asbab an-nuzul didefinisikan “sebagai suatu hal yang karenanya Qur’an diturunkan untuk menerangkan status (hukum)nya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”.
Berdasarkan rumusan di atas bahwa sebab-sebab nuzul adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu ayat atau beberapa ayat dinuzulkan untuk menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap pertanyaan tertentu.
Dengan demikian secara garis besar sebab turunya sesuatu ayat itu berkisar pada dua hal :
1. Bila terjadi suatu peristiwa , maka turunlah ayat Qur’an mengenai hal itu. Seperti peristiwa seorang yang mengimami shalat sedang mabuk sehingga salah dalam membaca surat Al-Kafirun. Peristiwa ini menyebabkan dinuzulkannya surat al-Nisa ayat 43.

2. Bila Rosulallah ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat al-Qur’an Menerangkan hukumnya. Banyak ayat yang turun sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepada nabi, seperti pertanyaan tentang ruh :
Artinya :
dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".

C. Cara Mengetahui Asbab An-Nuzul
Jalan mengetahui sebab nuzul, ialah riwayat dan penjelasan dari orang yang turut menyaksikan suasana turun ayat. Asbab an-nuzul merupakan peristiwa yang terjadi pada masa Nabi. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain mengadopsi sumber dari orang-orang yang menyaksikan peristiwa tersebut. Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui Asbab an-nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rosulallah atau shahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang shahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat (ra’y), tetapi ia punya hukum marfu’ (disandarkan kepada Rosulallah).
Al-Wahidi mengatakan: “Tidak halal berpendapat mengenai Asbab an-nuzul al-Qur’an kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya”. Dapat diketahui bahwa para ulama salaf sangatlah keras dan ketat dalam menerima berbagai riwayat yang berkaitan dengan asbab an-nuzul. Keketatan mereka itu dititik beratkan pada seleksi pribadi si pembawa riwayat (para rawi), sumber riwayat (isnad), dan redaksi (matan).
As-Suyuti berpendapat bahwa bila ucapan seorang tabi’in secara jelas menunjukkan asbab an-nuzul, maka ucapan itu dapat diterima, dan mempunyai kedudukan mursal bila penyandaran kepada tabiin itu benar dan ia termasuk salah sorang imam tafsir yang mengambil ilmunya dari para shahabat, seperti Ikrimah, Mujahid, Sa’ad Ibn Jubair, ‘Atha, Hasan Bishri, Sa’id bin Jubair serta didukung oleh hadits mursal yang lain.

D. Macam-Macam Asbab An-Nuzul
1. Dilihat dari sudut pandang redaksi yang digunakan dalam riwayat Asbab an-nuzul

Dilihat dari sudut pandang redaksi yang digunakan oleh perawi dalam mengungkapkan riwayat asbab an-nuzul, terbagi kepada :
1. Sharih (jelas). Artinya riwayat sudah jelas mununjukkan Asbab an-nuzul dan tidak mungkin menunjukkan yang lainnya.
Seperti : سَبَبُ نُزُوْلِ الاَيَةِ هَذَا.... (sebab turun ayat ini adalah…..)
Atau ia menggunakan kata “maka” (fa taqibiyah) setelah mengatakan peristiwa tertentu. Umpamanya ia mengatakan :
حَدَثَ هَذَا.... فَنَزَلَتِ الاَ يَةِ......
(Telah terjadi….., maka turunlah ayat…….)

سُئِلَ رَسُوْ لُ اللهِ عَنْ كَذَا..... فَنَزَلَتِ الاَ يَةِ......
(Rosulallah pernah ditanya tentang…. maka turunlah ayat…….)

Contoh riwayat Asbab an-nuzul yang menggunakan redaksi sharih adalah riwayat yang dibawakan oleh Jabir yang mengatakan bahwa orang-orang Yahudi berkata, “Apabila seorang suami mendatangi “kubul” istrinya dari belakang, anak yang lahir akan juling. Maka turunlah ayat :
Artinya :
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (Al-Baqarah ayat 223)

2. Muhtamilah (tidak tegas), bila perawi mengatakan :
نُزِلَتْ هَذِهِ الاَيَةُ فِى كَذَا......
(“Ayat ini diturunkan berkenaan dengan…….”)
Atau perawi mengatakan :
اَحْسِبُ هَذِهِ الاَيَةُ نَزَلَتْ فِى كَذَا......
(Saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan…….)
مَاأَحْسِبُ نَزَلَتْ هَذِهِ الاَيَةُ إِلاَّ فِى كَذَ.....
(Saya kira ayat ini tidak diturunkan, kecuali berkenaan dengan……)

Penggunaan redaksi نُزِلَتْ هَذِهِ الاَيَةُ فِى كَذَا dapat dikatagorikan untuk menerangkan sebab nuzul suatu ayat. Akan tetapi, ada kemungkinan juga sebagai penjelasan tentang kandungan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut. Al-Zarkasyi berpendapat bahwa kebiasaan para shahabat dan tabi’in telah diketahui apabila mereka mengatakan: ”Ayat ini turun mengenai urusan ini.” Maka maksud mereka ialah menerangkan bahwa ayat itu mengandung hukum tertentu, bukan untuk menerangkan sebab nuzul ayat.

2. Dilihat dari Sudut Pandang Beberapa Asbab an-nuzul untuk Satu Ayat atau Beberapa ayat untuk satu Asbab an-nuzul

a. Beberapa Asbab an-nuzul untuk Satu Ayat (Ta’adad Asbab wa Nazil Al-Wahid)

Adakalanya sebuah ayat mengandung beberapa versi riwayat tentang sebab turunnya. Bentuk variasi itu terkadang terdapat dalam redaksinya dan terkadang pula dalam kualitasnya.
Untuk mengetahuinya variasi riwayat Asbab an-nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksinya, para ulama mengemukakan cara sebagai berikut :
1. Tidak mempermasalahkannya.
Cara ini ditempuh apabila variasi riwayat Asbab an-nuzul ini menggunakan redaksi muhtamillah (tidak pasti). Umpamanya, satu versi menggunakan redaksi, ”Ayat ini diturunkan berkenaan dengan .....” dan versi lain menggunakan redaksi, ”saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan......”
Maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi diantara riwayat-riwayat itu. Sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat dan disimpulkan darinya, bukan menyebutkan sebab nuzul, kecuali bila ada qarinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab nuzul.
2. Mengambil versi riwayat Asbab an-nuzul yang menggunakan redaksi sharih.
Cara ini digunakan bila salah satu versi riwayat tidak menggunakan redaksi sharih (pasti). Contohnya ialah riwayat tentang sebab nuzul firman Allah :
Artinya :
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (Al-Baqarah ayat 223)
Dikemukakan oleh Al-Bukhari yang bersumber dari Ibn Umar, Ibn Umar: berkata : ”bahwa ayat ini diturunkan mengenai bersetubuh dengan istri dari belakang’. Bentuk redaksi dari Ibn Umar ini tidak dengan tegas menunjukkan sebab nuzul.
Sementara itu ada riwayat yang secara tegas menyebabkan turunnya ayat tersebut, yaitu diriwayatkan oleh As-Syaikhani (Bukhari-Muslim), Abu Daud dan At-Tirmidzi yang bersumber dari Jabir mengatakan : ”Orang-orang Yahudi berkata: ”Apabila seorang laki-laki bersetubuh dengan istrinya dari belakang ke farji (kemaluan)nya, maka anaknya lahir bermata juling”. Maka turunlah ayat :
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.
Maka riwayat Jabir inilah yang dijadikan pegangan, karena ucapannya merupakan pernyataan tegas tentang sebab nuzul. Sedangkan ucapan Ibn Umar, tidak demikian, karena itulah dipandang sebagai kesimpulan atau penafsiran.
3. Mengambil riwayat redaksinya sharih dan shahih (valid).
Cara ini digunakan apabila seluruh riwayat itu menggunakan redaksi sharih, tetapi kualitas redaksi salah satunya tidak shahih. Misalnya apa diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan ahli hadits lainnya, yang bersumber dari Undub al-Bajali:
”Bahwa Nabi pernah kurang sehat badan , hingga satu kali atau dua malam sehingga meninggalkan shalat malam. Kemudian datanglah seorang perempuan kepadanya dan berkata: ’Muhammad, kurasa setanmu sudah meninggalkanmu; selama dua tiga malam ini sudah tidak mendekatimu lagi.’ Maka Allah menurunkan firman ini (Demi waktu duha; dan demi malam apabila telah sunyi; Tuhanmu tiada meninggalkanmu dan tidaklah benci kepadamu).”
Riwayat lain yang berkaitan dengan ayat tersebut yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Ibnu Abi Syaibah, berasal dari Hafsh bin Maisarah yang mendengar langsung dari ibunya, seorang pembantu keluarga Rosulallah yang mengatakan :” Bahwa seekor anjing telah masuk ke dalam rumah Nabi, lalu masuk ke kolong tempat tidur dan mati. Karenanya empat hari tidak turun wahyu kepadanya. Nabi berkata: ’Khaulah, apa yang telah terjadi di rumah Rosulallah in? Sehingga Jibril tidak datang kepadaku!’ Dalam hati aku berkata: ’Alangkah baiknya andai aku membenahi rumah ini dan menyapunya.’ Lalu aku menyapu kolong tempat tidurnya, maka kukeluarkan seekor anak anjing. Lalu datanglah Nabi sedang janggutnya tergetar. Apabila turun wahyu kepadanya ia bergetar. Maka Allah menurunkan (Demi waktu duha) sampai dengan (lalu hatimu menjadi puas).”
Ibn Hajar mengatakan : cerita tentang lambatnya kedatangan Jibril karena anak anjing memang masyhur, tetapi kalau dikatakan sebagai sebab turunya ayat sungguh aneh, diantara isnadnya terdapat nama yang tidak dikenal. Maka yang menjadi pegangan adalah riwayat dalam shahih Bukhari dan Muslim.
Adapun terhadap variasi riwayat Asbab an-nuzul dalam satu ayat yang versinya berkualitas, para ulama mengemukakan langkah-langkah :
1. Mengambil versi riwayat yang shahih.
Apabila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, sedangkan salah satu riwayat diantaranya itu shahih, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang shahih. Seperti dua versi riwayat Asbab an-nuzul kontradiktif untuk surat Adh-Dhuha ayat 1-3.
2. Melakukan studi selektif (tarjih).
Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama shahih namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih shahih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang didahulukan. Contohnya tentang turunya surat Al-Isra ayat 85 . hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibn Mas’ud yang mengatakan :
”Aku berjalan dengan Nabi di Madinah. Ia berpegang pada tongkat dari pelepah pohon kurma. Dan ketika melewati serombongan orang-orang Yahudi, seseorang diantara mereka berkata : ’Coba kamu tanyakan sesuatu kepadanya.’ Lalu mereka menanyakan: ’Coba ceritakan kepada kami tentang roh,’ Nabi berdiri sejenak dan mengangkat kepala. Aku tahu bahwa wahyu tengah turun kepadanya. Wahyu itu turun hingga selesai. Kemudian ia berkata (”Katakanlah: Roh itu termasuk urusan Tuhanku; dan kamu tidak diberi pengetahuan melainkan sedikit).” Ayat ini turun berkenaan dengan ayat itu.
Dalam versi lain, diriwayatkan dan disahihkan oleh Turmudzi dari Ibn Abbas yang mengatakan:
”Orang-orang Quraisy berkata kepada orang Yahudi: ’berilah kami suatu persoalan untuk kamu tanyakan kepada orang ini (Muhammad).’ Mereka menjawab: ’Tanyakan kepadanya tentang roh.’ Lalu mereka tanyakan kepada Nabi. Maka Allah menurunkan : (Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh: Katakanlah Roh itu termasuk urusan Tuhanku).”
Kedua riwayat dikeluarkan oleh Bukhari dan Turmudzi di atas berstatus shahih. Akan tetapi mayoritas ulama lebih mendahulukan hadits Bukhari daripada hadits Turmudzi karena Bukhari lebih unggul (rajih), sedangkan hadits Turmudzi tidak unggul (marjuh).
3. Melakukan studi kompromi (jama’)
Apabila riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan, atau bila kedua riwayat yang kontradiktif itu sama-sama memiliki keshahihan hadits yang sederajat dan tidak mungkin dilakukan tarjih. Maka hendaklah kita anggap ayat itu turun berulang kali. Dalam istilah ilmu Al-Qur’an hal itu dapat disebut ”berulangnya turun ayat” (ta’addud an-nuzul).
Misalnya, ayat li’an ”Dan orang yang menuduh istrinya berbuat zina.... (An-Nur ayat 6). Bukhari, Tirmizi dan Ibn Majah meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ayat tersebut turun mengenai Hilal bin Umayah yang menuduh istrinya telah berbuat serong dengan Syuraik bin Sahma’ dan mengadukannya kepada Rosulallah.
Kemudian diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan yang lainnya, dari Sahl bin Sa’d: ”Uwaimir datang kepada ’Asim bin ’Adi, lalu berkata: ’Tanyakan kepada Rosulallah tentang seorang laki-laki yang mendapati istrinya bersama-sama dengan laki-laki lain; apakah ia harus membunuhnya sehingga ia diqisas atau apakah yang harus ia lakukan...?”.
Kedua riwayat itu berkualitas shahih dan tidak mungkin dilakukan studi tarjih. Oleh karena itu perlu dilakukan studi kompromi. Kedua riwayat tersebut dapat dipadukan, yaitu bahwa peristiwa Hilal terjadi lebih dahulu, dan kebetulan Uwaimir mengalami kejadian serupa; maka turunlah ayat yang berkenaan dengan urusan kedua orang itu sesudah terjadi kedua peristiwa tadi.

b. Beberapa Ayat untuk Satu Sebab (Ta’addud Nazil wa As-Sabab Al-Wahid)

Adakalanya satu peristiwa menjadi sebab bagi turunnya dua ayat al-Qur’an atau lebih yang lazim dikenal dikenal dengan istilah Ta’addud Nazil wa As-Sabab Al-Wahid (beberapa ayat turun untuk satu sebab). Dalam hal ini tidak ada permasalahan yang cukup penting karena itu banyak ayat yang turun di dalam berbagai surat berkenaan dengan satu peristiwa.
Contoh satu kejadian yang menjadi sebab turunnya beberapa ayat ialah apa yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Mansur, ’Abdurrazzaq, Tirmizi, Ibn Jarir, Ibnul Munzir, Ibnu Abi Hatim, Tabrani dan Hakim yang mengatakan shahih dari Ummu Salamah, ia berkata:
يَارَسُوْلَ اللهِ, لاَأَسْمَعُ اللهَ ذِكْرَ النَّسَاءِ فِى الْهِجْرَةِ بِشَيْئٍ. فَأَنْزَلَ اللهُ (فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّى لاَأُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضِ) الاية

Artinya :
“Rosulallah, aku tidak mendengar Allah menyebutkan kaum perempuan sedikitpun mengenai hijrah. Maka Allah menurunkan : Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain… (Ali Imran : 195)

Diriwayatkan pula oleh Ahmad, Nasa’i, Ibn Jarir, Ibnul Munzir, Tabarani dan Ibn Mardawaih dari Ummu Salamah yang mengatakan :
قُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ, مَالَنَا لاَ نُذْكَرُ فِى الْقُرَانِ كَمَا يُذْكَرُ الرِّجَالُ؟ فَلَمْ يَرْعِنِى مِنْهُ ذَاتَ يَوْمٍ إِلاَّ نِدَاؤُهُ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَقُوْلُ (إِنَّ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ إلى اخر الاية)
Artinya :
“Aku telah bertanya: Rosulallah, mengapa kamu tidak disebutkan dalam Al-Qur’an seperti kaum laki-laki? Maka pada suatu hari dikejutkan oleh seruan Rosulallah di atas mimbar. Ia membacakan : Sesungguhnya laki-laki dan perempuan Muslim...... sampai akhir ayat 35 Surat Al-Ahzab)

Diriwayatkan pula oleh Hakim dari Ummu Salamah yang mengatakan :
“Kaum laki-laki berperang sedang perempuan tidak. Disamping itu kami hanya memperoleh warisan setengah bagian? Maka Allah menurunkan ayat : Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan (An-Nisa: 32) dan ayat Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim.....”

E. Keumuman Lafadz dan Kekhususan Sebab
Dalam memahami teks Al-Qur’an, ada hal menarik yangg sampai sekarang orang tidak pernah melupakannya, khususnya orang-orang yang menggeluti masalah hukum Islam. Misalkan telah terjadi satu pertanyaan, kemudian satu ayat turun untuk memberikan penjelasan atau jawabannya, tetapi ungkapan ayat tersebut menggunakan redaksi ‘amm (umum) sehingga tidak terbatas pada kasus pertanyaan itu.
Sebagian berpendapat bahwa pemahaman terhadap al-Qur’an harus disesuaikan dengan konteks saat dinuzulkan ayat. Sebagian lagi berpendapat bahwa pemahaman itu harus didasarkan atas keumuman lafazh ayat, bukan didasarkan atas kekhususan sebab nuzulnya. Dua pemahaman ini melahirkan dua kaidah yakni اَلْعِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لاَ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ dan بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لاَ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ اَلْعِبْرَةُ
Dalam hal ini mayoritas ulama berpendapat bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafazh dan bukan kekhususan sebab (al-‘ibrah bi ‘umum al-lafdzi la bi khusus as-sabab). Hukum yang dibawa lafadz umum akan mencakup semua individu lafadz tersebut, baik itu semua individu sebab itu sendiri maupun individu di luarnya. Misalnya Hilal bin Umayyah menuduh istrinya berzina, sehingga turun ayat (وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ اَزْوَاجَهُمْ ) hingga akhir. Kendati disini sebabnya khusus, yakni tuduhan berzina oleh Hilal terhadap istrinya, namun ayatnya turun dengan lafal umum. Oleh karena itu, hukum ini mencakup semua orang yang menuduh istrinya berzina tanpa menghadirkan saksi, tidak terbatas pada Hilal seorang yang dijadikan sebab nuzul.
Ibn Taimiyah berpendapat bahwa banyak ayat yang diturunkan berkenaan dengan kasus tertentu, bahkan kadang-kadang menunjuk pribadi seseorang, namun dipahami berlaku umum. Misalnya surat Al-Maidah ayat 49 tentang perintah kepada Nabi untuk mengadili secara adil, ayat ini sebenarnya diturunkan bagi kasus Bani Quraidzah dan Bani Nadhir. Namun Ibn Taimiyah berpendapat tidak benar jika lalu dikatakan bahwa perintah kepada Nabi itu hanya berlaku adil terhadap kedua kabilah itu.
Selain itu ada juga ulama yang berpendapat bahwa ungkapan satu lafazh Al-Qur’an harus dipandang dari segi kekhususan dan bukan dari keumuman lafadz
اَلْعِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لاَ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ . Cakupan ayat tersebut terbatas kepada kasus yang menyebabkan diturunkannya sebuah ayat. Untuk mengetahui hukum terhadap peristiwa itu diperlukan analogi (qiyas), bukan dari nash itu sendiri.
Dengan demikian ayat qadzaf, umpamanya diturunkan khusus sehubungan dengan kasus Hilal dan istrinya. Adapun kasus lainnya yang serupa dengan kasus tersebut, hukumnya ditetapkan dengan melalui jalan qiyas.

F. Fungsi dan Kegunaan Mengetahui Asbab an-nuzul
Mengetahui Asbab an-nuzul sangat besar pengaruhnya dalam memahami makna ayat yang mulia. Banyak ayat al-Qur’an yang tak mungkin bisa dipahami tanpa diketahui lebih dahulu sebab nuzulnya. Sehubungan dengan itu Al-Suyuthi mengutip pandapat Al-Wahidi yang mengatakan : “Tidak mungkin mengetahui Tafsir Al-Qur’an tanpa memahami kisahnya dan keterangan mengenai sebab turunnya.”
Dengan itu kita dapat menentukan fungsi Asbab an-nuzul ini dalam ilmu tafsir; yaitu sebagai pengetahuan pembantu dalam memahami, menafsirkan serta memformulasikan ayat Al-Qur’an menjadi ajaran praktis yang dapat dan mudah diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Diantara faedah dari mengetahui Asbab an-nuzul adalah
1. Mengetahui sebab nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna Qur’an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya.
2. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian yang umum.
3. Mengkhususkan hukum yang terkadung dalam Al-Qur’an bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan sebab yang bersifat khusus (khusus as-sabab) dan bukan lafadz yang bersifat umum (umum al-lafdz).
4. Mengidentifikasi pelaku yang menyebabkan turunnya ayat Al-Qur’an.
5. Membantu mempermudah penghafalan dan pemahaman, disamping dapat membantu meletakkan ayat-ayat bersangkutan berada dalam hati setiap orang yang mendengarnya bila ayat-ayat ini dibacakan.

G. Kesimpulan
Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah, yang berbentuk wahyu yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai petunjuk bagi manusia. Karena itu AL-Qur’an tentunya harus dikaji dan dipahami serta diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Pengkajian dan pemahaman Al-Qur’an membutuhkan beberapa ilmu bantu, yang salah satunya adalah asbab an-nuzul.
Asbab an-nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya satu atau beberapa ayat, yang memiliki ruang lingkup pembahasan yang berkaitan langsung dengan peristiwa diturunkannya ayat al-Qur’an, terutama dalam hubungan peristiwa yang terjadi ataupun sebagai jawaban atas pertanyaan.
Pedoman dasar dalam mengetahui asbab an-nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rosulallah atau shahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang shahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat (ra’y), tetapi ia punya hukum marfu’ (disandarkan kepada Rosulallah).
Dalam penerapannya mayoritas ulama berpendapat bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafazh dan bukan kekhususan sebab (al-‘ibrah bi ‘umum al-lafdzi la bi khusus as-sabab), sehingga hukum yang dibawa lafadz umum akan mencakup semua individu lafadz tersebut, baik itu semua individu sebab itu sendiri maupun individu di luarnya.
Pengetahuan Asbab an-nuzul ini menduduki fungsi yang penting dan sangat berguna, yaitu sebagai pengetahuan pembantu dalam memahami, menafsirkan serta memformulasikan ayat Al-Qur’an menjadi ajaran praktis yang dapat dan mudah dapat diterapkan dalam dunia modern sekarang ini, sehingga mudah untuk diamalkan.


DAFTAR PUSTAKA


Abd. Wahab, Al-Sayyid Iwadullah. 1985. Al-Mu’jam al-Wasit. Kairo: Dar al-
Hindisiyyah

Abd Al-Azhim Al-Zarqani, Muhammad. 1996. Manahil al-Irfan Fi ‘Ulum Al-
Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah

Anwar, Rosihan. 2004. Ulumul Qur’an. Bandung, CV. Pustaka Setia

As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Qur’an. Jakarta: Pustakan Firdaus

Ash Shidieqy, M. Hasbi. 1992. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir,
Jakarta: Bulan Bintang,

As-Suyuti, Jalaludin, 1986. Riwayat Turunnya Ayat-Ayat Suci Al-Qur’an Nuzul,
Surabaya: Mutiara Ilmu. sebuah terjemahan. Judul Asli, Lubabun Nuqul fi Asbab un

Khalil al-Qattan, Mana. 2007, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta. Litera AntarNusa

Syafe’i, Rachmat. 2006. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia

Supiana, M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir Bandung:
Islamika

Yunus, Mahmud. 1973. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung

1 komentar: