Senin, 26 Juli 2010

KRITERIA KEBENARAN

A. Pendahuluan

Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menentukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi setiap orang adalah tidak sama maka oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu pun berbeda-beda. Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut dengan kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran di mana tia-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenaran masing-masing. Karena itu, kegiatan berfikir adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang benar atau kriteria kebenaran.

Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran, namun masalahnya tidak hanya sampai disitu. Problem kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistimologi. Telaah epistimologi terhadap kebenaran membawa orang kepada sesuatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran, yaitu kebenaran epistimologi, kebenaran ontologis, dan kebenaran semantis. Kebenaran epistimologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakekat segala sesuatu yang ada atau diadakan. Kebenaran dalam arti simantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa.

Kiranya cukup terang dan jelas mengenai makna apa yang didukung oleh perkataan kebenaran tampaknya dapat dijawab dengan mudah. Tetapi kesulitan-kesulitan akan timbul bagaimana cara untuk mengetahui bila proposisi atau pernyataan itu benar dengan perkataan lain, ukuran apakah yang dapat diterapkan pada proposisi-proposisi untuk menentukan kebenarannya atau kenyataannya.

Dengan demikian, dalam makalah ini sebagai batasan masalah penulis akan membahas kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia, yang meliputi pengertian kebenaran, kriteria kebenaran yang didasarkan kepada teori-teori kebenaran dan sifat dari kebenaran ilmiah.


B. Pengertian Kebenaran

Kebenaran adalah keadaan yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya. Kata “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkrit maupun abstrak. Jika subjek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah proposisi atau makna yang dikandung dalam suatu pernyataan (statement) yang benar. Apabila subjek menyatakan kebenaran artinya bahwa yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan dan nilai. Hal yang demikian itu karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan dan nilai itu sendiri.

Persesuaian antara pengetahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.

Kebenaran adalah suatu sifat dari kepercayaan, dan diturunkan dari kalimat yang menyatakan kepercayaan tersebut. Artinya kebenaran merupakan suatu hubungan tertentu antara satu kepercayaan dengan suatu fakta atau lebih dari luar kepercayaan. Bila hubungan ini tidak ada, maka kepercayaan itu adalah salah. Dengan demikian kepercayaan tetap benar jika fakta yang merupakan pertaliannya dengan dunia luar atau merupakan tanda kejadiannya dan jika tidak ada fakta seperti itu maka hal itu tetap salah.

C. Kriteria Kebenaran

Untuk menentukan sebuah pernyataan dapat dikatakan benar, ada beberapa teori yang mengungkapkan kriteria kebenaran, yaitu teori koherensi atau konsistensi, teori korespondensi, dan teori pragmatis.

1. Teori Koherensi

Teori koherensi ini dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti Leibniz, Hegel dan Bradley . Menurut teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
Secara singkat paham ini mengatakan bahwa suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita. Artinya suatu proposisi itu atau makna pernyataan dari suatu pengetahuan bernilai benar bila proposisi itu mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang terdahulu yang bernilai benar.

Sebagai suatu contoh bila kita menganggap bahwa ‘semua manusia pasti akan mati’ adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa ‘ si Polan adalah seorang manusia dan si Polan pasti akan mati’ adalah benar, sebab pernyataan kedua adalah konssisten dengan pernyataan pertama.

Diantara bentuk pengetahuan yang penyusunannya dan pembuktiannya didasarkan pada teori koherensi adalah ilmu matematika dan turunannya. Matematika disusun pada beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar, yakni aksioma. Dengan mempergunakan beberapa aksioma maka disusun suatu teorema. Diatas teorema dikembangkan kaidah matematika yang secara keseluruhan merupakan system konsisten. Contoh, 3 + 3 = 6 adalah benar karena sesuai dengan kebenaran yang sudah disepakati bersama terutama oleh komunitas matematika.

Mengenai teori ini dapatlah disimpulkan sebagai berikut : Pertama : Kebenaran menurut teori ini adalah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang sesudah lebih dahulu kita ketahui, terima dan akui sebagai benar. Kedua: teori ini aganya dapat dinamakan teori penyaksian (justifikasi) tentang kebenaran, karena menurut teori ini satu putusan dianggap benar apabila ada penyaksian-penyaksian (justifikasi, pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui, diterima, dan diakui benarnya.

2. Teori Korespondensi

Eksponen utamanya adalah Bertrand Rusell (1872-1970). Menurut teori ini, suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian (correspondence) antara makna yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh merupakan halnya, atau apa yang merupakan fakta-faktanya. Dengan kata yang lain adalah suatu pengetahuan mempunyai nilai benar apabila pengetahuan itu mempunyai kesesuaian dengan kenyataan yang diketahuinya.

Kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif. Yaitu, suatu pernyataan yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi. Kebenaran ialah kesesuaian (agreement) antara pernyataan (statement) mengenai fakta dengan fakta aktual; atau antara putusan (judgement) dengan situasi seputar (environmental situation) yang diberi interpretasi.
Misalnya jika seseorang mengatakan bahwa “Ibu Kota Republik Indonesia adalah Jakarta” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan objek yang bersifat faktual yakni Jakarta yang memang menjadi Ibu Kota Republik Indonesia. Sekiranya orang lain yang menyatakan bahwa “Ibu Kota Republik Indonesia adalah Bandung” maka pernyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang dengan pernyataan tersebut. Dalam hal ini maka faktual “Ibu Kota Republlik Indonesia adalah bukan Bandung melainkan Jakarta”.

Dari contoh di atas kita mengenal dua hal, yaitu pertama, pernyataan dan kedua, kenyataan. Dengan demikian ukuran kebenaran menurut teori ini adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu sendiri.

3. Teori Pragmatis

Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis.

Bagi seorang pragmatis maka kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Jadi menurut teori ini bahwa suatu proposisi bernilai benar bila proposisi itu mempunyai konseuensi-konsekuensi praktis seperti yang terdapat secara inhern dalam pernyataan itu tadi.

Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya, dan oleh akibat-akibat praktisnya. Jadi bagi penganut pragmatis, batu ujian kebenaran ialah kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workability), akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequenced).
Yang dimaksud dengan hasil yang memuaskan antara lain :
a. Sesuatu itu benar apabila memuaskan keinginan dan tujuan manusia
b. Sesuatu itu benar apabila dapat diuji benar dengan eksperimen,
c. Sesuatu itu benar apabila ia mendorong atau membantu dalam perjuangan hidup biologis untuk tetap ada.

Sebagai contoh sekiranya ada orang yang menyatakan sebuah teori X dalam pendidikan, dan dengan teori X tersebut dikembangkan teknik Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X tersebut dianggap benar, sebab teori X ini fungsional dan mempunyai kegunaan.
Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan.

C. Sifat Kebenaran Ilmiah

Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah. Artinya suatu kebenaran tidak mungkin tanpa adanya prosedur baku yang harus dilaluinya. Prosedur baku yang harus dilalui itu adalah tahap-tahap untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang pada hakekatnya berupa teori, melalui metodologi ilmiah yang telah baku sesuai dengan sifat dasar ilmu. Maksudnya adalah bahwa setiap ilmu secara tegas menetapkan jenis objek secara ketat apakah objek itu berupa hal konkret atau abstrak.

Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, maksudnya ialah bahwa kebenaran dari suatu teori atau lebih tinggi lagi aksioma atau paradigma harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam keadaan objektivannya. Kenyataan yang dimaksud adalah kenyataan yang berupa suatu yang dapat dipakai acuan kenyataan yang pada mulanya merupakan objek dalam pembentukan pengetahuan ilmiah itu.

Kebenaran dalam ilmu harus selalu merupakan hasil persetujuan atau konvensi dari para ilmuwan pada bidangnya. Pernyataan tersebut karena kebenaran ilmu harus selalu merupakan kebenaran yang disepakati dalam konvensi, maka keuniversalan sifat ilmu masih dibatasi oleh penemuan-penemuan baru atau penemuan lain yang hasilnya menolak penemuan terdahulu atau bertentangan sama sekali. Jika terdapat hal semacam itu maka diperlukan suatu penelitian ulang yang mendalam. Dan, jika hasilnya memang berbeda maka kebenaran yang lama harus diganti oleh penemuan baru atau kedua-duanya berjalan bersama dengan kekuatan atau kebenarannya masing-masing.

D. Kesimpulan

Kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman, dalam pengertian laink ebenaran adalah persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Sebuah pernyataan dapat dikatakan benar, apabila memenuhi beberapa kriteria, seperti yang diungkapkan oleh beberapa teori kebenaran diantaranya :
  1. Suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Hal ini didasarkan kepada teori koherensi atau konsistensi, yang menyatakan suatu proposisi itu atau makna pernyataan dari suatu pengetahuan bernilai benar bila proposisi itu mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang terdahulu yang bernilai benar
  2. Suatu pernyataan dianggap benar apabila ada kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu sendiri. Kriteria ini didasarkan kepada teori korespondensi yang menyatakan bahwa kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian (correspondence) antara makna yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh merupakan halnya, atau apa yang merupakan fakta-faktanya.
  3. Suatu pernyataan dianggap benar diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis manusia. Kriteria ini didasarkan kepada teori pragmatism yang menyatakan bahwa suatu proposisi bernilai benar bila proposisi itu mempunyai konseuensi-konsekuensi praktis seperti yang terdapat secara inhern dalam pernyataan itu tadi.
  4. Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang sifatnya objektif, maksudnya ialah bahwa kebenaran dari suatu teori atau lebih tinggi lagi aksioma atau paradigma harus didukung oleh fakta-fakta berupa kenyataan yang dapat dipakai acuan dalam pembentukan pengetahuan ilmiah itu.

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, (Jakarta : RajaGrapindo Persada), 2010
Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX, (Jakarta : Gramedia), 1983
Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka), 1989
Kattsof, Louis O, Elements of Philosopphy, Terj. Soejono Soemargono, Pengantara Filsafat, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya), 2004
Poedjawijatna, I.R., Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke IImu dan Filsafat, (Jakarta: Bina Aksara), 1987
Suriasumantri, Jujun S., Ilmu dalam Prespektif, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia), 2009
Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta), 2003
Wathloly, Al-Holiab, Tanggung Jawab Pengetahuan, (Yogyakarta : Kanisius), 2001

Sabtu, 17 Juli 2010

ASBABUN NUZUL

Oleh : Bubun Sihabul Millah

A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kitab suci kaum muslimin dan menjadi sumber ajaran Islam yang pertama dan utama yang harus di imani dan aplikasikan dalam kehidupan, agar kita memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Karena itu, tidaklah berlebihan jika selama ini kaum muslimin tidak hanya mempelajari isi dan pesan-pesannya. Tetapi juga telah berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga otentitasnya.
Upaya untuk menjaga keotentikan Al-Qur’an telah dilaksanakan sejak Nabi Muhammad Saw masih berada di Mekkah dan belum berhijrah ke Madinah hingga saat ini, dengan kata lain upaya tersebut telah mereka laksanakan sejak al-Qur’an diturunkan hingga saat ini.
Pada mulanya al-Qur’an diturunkan untuk tujuan umum, namun kehidupan para shahabat bersama Rosulallah telah banyak menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi diantara mereka peristiwa yang khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rosulallah untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal tersebut. Maka Qur’an turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul tersebut. Hal seperti itulah yang dinamakan dengan Asbab an-nuzul.
Mengerti Asbab an-nuzul sangat banyak manfaatnya. Karena itu tidak benar orang-orang mengatakan, bahwa mempelajari dan memahami sebab-sebab turun al-Qur’an itu tidak berguna, dengan alasan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’an itu telah masuk dalam ruang lingkup sejarah.

B. Pengertian Asbab an-nuzul
Asbab an-nuzul merupakan ungkapan bentuk idhafat dari kata asbab dan nuzul. Kata asbab , berarti alasan atau sebab. Sedangkan kata nuzul artinya turun (dari atas ke bawah). Tetapi pengertian seperti itu (turun dari atas ke bawah) menurut Al-Zarqani, tidak lazim dan tidak tepat bagi pengertian Al-Qur’an. Pengertian tersebut lebih tepat dan lazim digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan materi yang memiliki berat jenis tertentu, sedangkan al-Qur’an bukanlah yang demikian, baik berupa kalam lafzhiy maupun nafsiy. Oleh karena itu pengertian nuzul bagi al-Qur;an harus diberikan pengertian secara metamorfosis (majaz).
Al-Zarqani menganggap bahwa pengertian nuzul termasuk kepada majaz al-isti’arah al-tasrihiyyah, yakni dengan menyamakan pemberitahuan “atasan” kepada bawahan”. Oleh karena itu penetapan kata nuzul dan sejenisnya tidak dimaksudkan untuk memberi kesan bahwa al-Qur’an nuzul dari atas, tetapi al-Qur’an bersumber dari Zat Yang Agung yang berkedudukan Maha Tinggi.
Secara etimologi, Asbab an-nuzul adalah sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu, atau juga berarti sebab-sebab turun ayat. Dalam pengertian sederhana tersebut, turunnya ayat disebabkan oleh suatu peristiwa, maka tanpa adanya peristiwa itu ayat tersebut tidak akan turun. Jika memang seperti itu pengertiannya, tidaklah sesuai dengan hakikat Al-Qur’an itu sendiri, sebab ayat itu sudah ada dan lengkap di Lauh Mahfuzh diciptakan oleh Allah. Turunnya ayat tentunya tidak diikat atau dihukum oleh alam yang berbentuk peristiwa itu, kemudian hal itu juga tidak sesuai dengan sifat Allah yang Mahakuasa. Allah tidak terikat dengan alam atau makhluk dalam menyampaikan rencana dan kehendak-Nya.
Dalam hal ini dapat dilihat dari pengertian secara istilah yang dikemukakan oleh Az-Zarqani, yang menyatakan :
مَا نَزَلَتِ الاَيَةُ أَوِالاَيَاتُ مُتَحَدِّثَةً عَنْهُ أَوْمُبَيِّنَةً لِحُكْمِ وُقُوْعِهِ
Dari pengertian ini bahwa ayat yang turun tidak di disebabkan oleh peristiwa yang terjadi, tetapi peristiwa itu hanya sebagai suatu kasus yang dapat menjelaskan makna ayat. Atau ayat yang turun itu dapat memberi penjelasan pada peristiwa yang menjadi kasus itu, sehingga kalau ada kasus yang sama atau mirip dengan itu, dapat pula dikenai penjelasan ayat itu. Sebenarnya dapat dipahami pula bahwa walaupun tidak ada peristiwa ketika itu, ayat itu akan turun juga untuk menjelaskan sesuatu yang mungkin akan terjadi.
Meskipun demikian segala fenomena yang melatar belakangi sesuatu dapat disebut asbab an-nuzul, dalam pemakaiannya, ungkapan Asbab an-nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatar belakangi turunya al-Qur’an, karena sudah umum digunakan oleh para ahli ilmu tafsir. Bahkan penggunaan istilah ini sudah berkembang dalam berbagai tulisan dan uraian. Meskipun Asbab an-nuzul itu satu bagian saja dari ilmu tafsir, Asbab an-nuzul sudah mengarah menjadi ilmu yang berdiri sendiri dengan nama istilah Ilmu Asbab an-nuzul. Dengan pengertian penggunaan istilah asbab an-nuzul yaitu ilmu-ilmu yang membahas peristiwa-peristiwa yang terjadi, yang ada hubungannya dengan turunnya ayat Al-Qur’an, yang dapat dijadikan kasus dalam penjelasan ayat.
Menurut terminologi, seperti yang diungkapkan oleh Subhi Shalih misalnya menta’rifkan (ma’na) sababun nuzul ialah:
مَا نُزِلَةِ الأَيَةُ اَوِ الآيَاتُ بِسَبَبِهِ مُتَضَمِّنَةً لَهُ أَوْ مُجِيْبَةً عَنْهُ أَوْ مُبَيِّنَةً لِحُكْمِهِ زَمَنَ وُقُوْعِهِ.
“Sesuatu yang menjadi sebab turun sebuah ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan untuk menerangkan hukumnya; pada masa terjadinya peristiwa itu.”
Menurut Mana’ Al-Qaththan Asbab an-nuzul didefinisikan “sebagai suatu hal yang karenanya Qur’an diturunkan untuk menerangkan status (hukum)nya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”.
Berdasarkan rumusan di atas bahwa sebab-sebab nuzul adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu ayat atau beberapa ayat dinuzulkan untuk menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap pertanyaan tertentu.
Dengan demikian secara garis besar sebab turunya sesuatu ayat itu berkisar pada dua hal :
1. Bila terjadi suatu peristiwa , maka turunlah ayat Qur’an mengenai hal itu. Seperti peristiwa seorang yang mengimami shalat sedang mabuk sehingga salah dalam membaca surat Al-Kafirun. Peristiwa ini menyebabkan dinuzulkannya surat al-Nisa ayat 43.

2. Bila Rosulallah ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat al-Qur’an Menerangkan hukumnya. Banyak ayat yang turun sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepada nabi, seperti pertanyaan tentang ruh :
Artinya :
dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".

C. Cara Mengetahui Asbab An-Nuzul
Jalan mengetahui sebab nuzul, ialah riwayat dan penjelasan dari orang yang turut menyaksikan suasana turun ayat. Asbab an-nuzul merupakan peristiwa yang terjadi pada masa Nabi. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain mengadopsi sumber dari orang-orang yang menyaksikan peristiwa tersebut. Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui Asbab an-nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rosulallah atau shahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang shahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat (ra’y), tetapi ia punya hukum marfu’ (disandarkan kepada Rosulallah).
Al-Wahidi mengatakan: “Tidak halal berpendapat mengenai Asbab an-nuzul al-Qur’an kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya”. Dapat diketahui bahwa para ulama salaf sangatlah keras dan ketat dalam menerima berbagai riwayat yang berkaitan dengan asbab an-nuzul. Keketatan mereka itu dititik beratkan pada seleksi pribadi si pembawa riwayat (para rawi), sumber riwayat (isnad), dan redaksi (matan).
As-Suyuti berpendapat bahwa bila ucapan seorang tabi’in secara jelas menunjukkan asbab an-nuzul, maka ucapan itu dapat diterima, dan mempunyai kedudukan mursal bila penyandaran kepada tabiin itu benar dan ia termasuk salah sorang imam tafsir yang mengambil ilmunya dari para shahabat, seperti Ikrimah, Mujahid, Sa’ad Ibn Jubair, ‘Atha, Hasan Bishri, Sa’id bin Jubair serta didukung oleh hadits mursal yang lain.

D. Macam-Macam Asbab An-Nuzul
1. Dilihat dari sudut pandang redaksi yang digunakan dalam riwayat Asbab an-nuzul

Dilihat dari sudut pandang redaksi yang digunakan oleh perawi dalam mengungkapkan riwayat asbab an-nuzul, terbagi kepada :
1. Sharih (jelas). Artinya riwayat sudah jelas mununjukkan Asbab an-nuzul dan tidak mungkin menunjukkan yang lainnya.
Seperti : سَبَبُ نُزُوْلِ الاَيَةِ هَذَا.... (sebab turun ayat ini adalah…..)
Atau ia menggunakan kata “maka” (fa taqibiyah) setelah mengatakan peristiwa tertentu. Umpamanya ia mengatakan :
حَدَثَ هَذَا.... فَنَزَلَتِ الاَ يَةِ......
(Telah terjadi….., maka turunlah ayat…….)

سُئِلَ رَسُوْ لُ اللهِ عَنْ كَذَا..... فَنَزَلَتِ الاَ يَةِ......
(Rosulallah pernah ditanya tentang…. maka turunlah ayat…….)

Contoh riwayat Asbab an-nuzul yang menggunakan redaksi sharih adalah riwayat yang dibawakan oleh Jabir yang mengatakan bahwa orang-orang Yahudi berkata, “Apabila seorang suami mendatangi “kubul” istrinya dari belakang, anak yang lahir akan juling. Maka turunlah ayat :
Artinya :
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (Al-Baqarah ayat 223)

2. Muhtamilah (tidak tegas), bila perawi mengatakan :
نُزِلَتْ هَذِهِ الاَيَةُ فِى كَذَا......
(“Ayat ini diturunkan berkenaan dengan…….”)
Atau perawi mengatakan :
اَحْسِبُ هَذِهِ الاَيَةُ نَزَلَتْ فِى كَذَا......
(Saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan…….)
مَاأَحْسِبُ نَزَلَتْ هَذِهِ الاَيَةُ إِلاَّ فِى كَذَ.....
(Saya kira ayat ini tidak diturunkan, kecuali berkenaan dengan……)

Penggunaan redaksi نُزِلَتْ هَذِهِ الاَيَةُ فِى كَذَا dapat dikatagorikan untuk menerangkan sebab nuzul suatu ayat. Akan tetapi, ada kemungkinan juga sebagai penjelasan tentang kandungan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut. Al-Zarkasyi berpendapat bahwa kebiasaan para shahabat dan tabi’in telah diketahui apabila mereka mengatakan: ”Ayat ini turun mengenai urusan ini.” Maka maksud mereka ialah menerangkan bahwa ayat itu mengandung hukum tertentu, bukan untuk menerangkan sebab nuzul ayat.

2. Dilihat dari Sudut Pandang Beberapa Asbab an-nuzul untuk Satu Ayat atau Beberapa ayat untuk satu Asbab an-nuzul

a. Beberapa Asbab an-nuzul untuk Satu Ayat (Ta’adad Asbab wa Nazil Al-Wahid)

Adakalanya sebuah ayat mengandung beberapa versi riwayat tentang sebab turunnya. Bentuk variasi itu terkadang terdapat dalam redaksinya dan terkadang pula dalam kualitasnya.
Untuk mengetahuinya variasi riwayat Asbab an-nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksinya, para ulama mengemukakan cara sebagai berikut :
1. Tidak mempermasalahkannya.
Cara ini ditempuh apabila variasi riwayat Asbab an-nuzul ini menggunakan redaksi muhtamillah (tidak pasti). Umpamanya, satu versi menggunakan redaksi, ”Ayat ini diturunkan berkenaan dengan .....” dan versi lain menggunakan redaksi, ”saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan......”
Maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi diantara riwayat-riwayat itu. Sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat dan disimpulkan darinya, bukan menyebutkan sebab nuzul, kecuali bila ada qarinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab nuzul.
2. Mengambil versi riwayat Asbab an-nuzul yang menggunakan redaksi sharih.
Cara ini digunakan bila salah satu versi riwayat tidak menggunakan redaksi sharih (pasti). Contohnya ialah riwayat tentang sebab nuzul firman Allah :
Artinya :
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (Al-Baqarah ayat 223)
Dikemukakan oleh Al-Bukhari yang bersumber dari Ibn Umar, Ibn Umar: berkata : ”bahwa ayat ini diturunkan mengenai bersetubuh dengan istri dari belakang’. Bentuk redaksi dari Ibn Umar ini tidak dengan tegas menunjukkan sebab nuzul.
Sementara itu ada riwayat yang secara tegas menyebabkan turunnya ayat tersebut, yaitu diriwayatkan oleh As-Syaikhani (Bukhari-Muslim), Abu Daud dan At-Tirmidzi yang bersumber dari Jabir mengatakan : ”Orang-orang Yahudi berkata: ”Apabila seorang laki-laki bersetubuh dengan istrinya dari belakang ke farji (kemaluan)nya, maka anaknya lahir bermata juling”. Maka turunlah ayat :
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.
Maka riwayat Jabir inilah yang dijadikan pegangan, karena ucapannya merupakan pernyataan tegas tentang sebab nuzul. Sedangkan ucapan Ibn Umar, tidak demikian, karena itulah dipandang sebagai kesimpulan atau penafsiran.
3. Mengambil riwayat redaksinya sharih dan shahih (valid).
Cara ini digunakan apabila seluruh riwayat itu menggunakan redaksi sharih, tetapi kualitas redaksi salah satunya tidak shahih. Misalnya apa diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan ahli hadits lainnya, yang bersumber dari Undub al-Bajali:
”Bahwa Nabi pernah kurang sehat badan , hingga satu kali atau dua malam sehingga meninggalkan shalat malam. Kemudian datanglah seorang perempuan kepadanya dan berkata: ’Muhammad, kurasa setanmu sudah meninggalkanmu; selama dua tiga malam ini sudah tidak mendekatimu lagi.’ Maka Allah menurunkan firman ini (Demi waktu duha; dan demi malam apabila telah sunyi; Tuhanmu tiada meninggalkanmu dan tidaklah benci kepadamu).”
Riwayat lain yang berkaitan dengan ayat tersebut yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Ibnu Abi Syaibah, berasal dari Hafsh bin Maisarah yang mendengar langsung dari ibunya, seorang pembantu keluarga Rosulallah yang mengatakan :” Bahwa seekor anjing telah masuk ke dalam rumah Nabi, lalu masuk ke kolong tempat tidur dan mati. Karenanya empat hari tidak turun wahyu kepadanya. Nabi berkata: ’Khaulah, apa yang telah terjadi di rumah Rosulallah in? Sehingga Jibril tidak datang kepadaku!’ Dalam hati aku berkata: ’Alangkah baiknya andai aku membenahi rumah ini dan menyapunya.’ Lalu aku menyapu kolong tempat tidurnya, maka kukeluarkan seekor anak anjing. Lalu datanglah Nabi sedang janggutnya tergetar. Apabila turun wahyu kepadanya ia bergetar. Maka Allah menurunkan (Demi waktu duha) sampai dengan (lalu hatimu menjadi puas).”
Ibn Hajar mengatakan : cerita tentang lambatnya kedatangan Jibril karena anak anjing memang masyhur, tetapi kalau dikatakan sebagai sebab turunya ayat sungguh aneh, diantara isnadnya terdapat nama yang tidak dikenal. Maka yang menjadi pegangan adalah riwayat dalam shahih Bukhari dan Muslim.
Adapun terhadap variasi riwayat Asbab an-nuzul dalam satu ayat yang versinya berkualitas, para ulama mengemukakan langkah-langkah :
1. Mengambil versi riwayat yang shahih.
Apabila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, sedangkan salah satu riwayat diantaranya itu shahih, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang shahih. Seperti dua versi riwayat Asbab an-nuzul kontradiktif untuk surat Adh-Dhuha ayat 1-3.
2. Melakukan studi selektif (tarjih).
Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama shahih namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih shahih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang didahulukan. Contohnya tentang turunya surat Al-Isra ayat 85 . hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibn Mas’ud yang mengatakan :
”Aku berjalan dengan Nabi di Madinah. Ia berpegang pada tongkat dari pelepah pohon kurma. Dan ketika melewati serombongan orang-orang Yahudi, seseorang diantara mereka berkata : ’Coba kamu tanyakan sesuatu kepadanya.’ Lalu mereka menanyakan: ’Coba ceritakan kepada kami tentang roh,’ Nabi berdiri sejenak dan mengangkat kepala. Aku tahu bahwa wahyu tengah turun kepadanya. Wahyu itu turun hingga selesai. Kemudian ia berkata (”Katakanlah: Roh itu termasuk urusan Tuhanku; dan kamu tidak diberi pengetahuan melainkan sedikit).” Ayat ini turun berkenaan dengan ayat itu.
Dalam versi lain, diriwayatkan dan disahihkan oleh Turmudzi dari Ibn Abbas yang mengatakan:
”Orang-orang Quraisy berkata kepada orang Yahudi: ’berilah kami suatu persoalan untuk kamu tanyakan kepada orang ini (Muhammad).’ Mereka menjawab: ’Tanyakan kepadanya tentang roh.’ Lalu mereka tanyakan kepada Nabi. Maka Allah menurunkan : (Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh: Katakanlah Roh itu termasuk urusan Tuhanku).”
Kedua riwayat dikeluarkan oleh Bukhari dan Turmudzi di atas berstatus shahih. Akan tetapi mayoritas ulama lebih mendahulukan hadits Bukhari daripada hadits Turmudzi karena Bukhari lebih unggul (rajih), sedangkan hadits Turmudzi tidak unggul (marjuh).
3. Melakukan studi kompromi (jama’)
Apabila riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan, atau bila kedua riwayat yang kontradiktif itu sama-sama memiliki keshahihan hadits yang sederajat dan tidak mungkin dilakukan tarjih. Maka hendaklah kita anggap ayat itu turun berulang kali. Dalam istilah ilmu Al-Qur’an hal itu dapat disebut ”berulangnya turun ayat” (ta’addud an-nuzul).
Misalnya, ayat li’an ”Dan orang yang menuduh istrinya berbuat zina.... (An-Nur ayat 6). Bukhari, Tirmizi dan Ibn Majah meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ayat tersebut turun mengenai Hilal bin Umayah yang menuduh istrinya telah berbuat serong dengan Syuraik bin Sahma’ dan mengadukannya kepada Rosulallah.
Kemudian diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan yang lainnya, dari Sahl bin Sa’d: ”Uwaimir datang kepada ’Asim bin ’Adi, lalu berkata: ’Tanyakan kepada Rosulallah tentang seorang laki-laki yang mendapati istrinya bersama-sama dengan laki-laki lain; apakah ia harus membunuhnya sehingga ia diqisas atau apakah yang harus ia lakukan...?”.
Kedua riwayat itu berkualitas shahih dan tidak mungkin dilakukan studi tarjih. Oleh karena itu perlu dilakukan studi kompromi. Kedua riwayat tersebut dapat dipadukan, yaitu bahwa peristiwa Hilal terjadi lebih dahulu, dan kebetulan Uwaimir mengalami kejadian serupa; maka turunlah ayat yang berkenaan dengan urusan kedua orang itu sesudah terjadi kedua peristiwa tadi.

b. Beberapa Ayat untuk Satu Sebab (Ta’addud Nazil wa As-Sabab Al-Wahid)

Adakalanya satu peristiwa menjadi sebab bagi turunnya dua ayat al-Qur’an atau lebih yang lazim dikenal dikenal dengan istilah Ta’addud Nazil wa As-Sabab Al-Wahid (beberapa ayat turun untuk satu sebab). Dalam hal ini tidak ada permasalahan yang cukup penting karena itu banyak ayat yang turun di dalam berbagai surat berkenaan dengan satu peristiwa.
Contoh satu kejadian yang menjadi sebab turunnya beberapa ayat ialah apa yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Mansur, ’Abdurrazzaq, Tirmizi, Ibn Jarir, Ibnul Munzir, Ibnu Abi Hatim, Tabrani dan Hakim yang mengatakan shahih dari Ummu Salamah, ia berkata:
يَارَسُوْلَ اللهِ, لاَأَسْمَعُ اللهَ ذِكْرَ النَّسَاءِ فِى الْهِجْرَةِ بِشَيْئٍ. فَأَنْزَلَ اللهُ (فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّى لاَأُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضِ) الاية

Artinya :
“Rosulallah, aku tidak mendengar Allah menyebutkan kaum perempuan sedikitpun mengenai hijrah. Maka Allah menurunkan : Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain… (Ali Imran : 195)

Diriwayatkan pula oleh Ahmad, Nasa’i, Ibn Jarir, Ibnul Munzir, Tabarani dan Ibn Mardawaih dari Ummu Salamah yang mengatakan :
قُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ, مَالَنَا لاَ نُذْكَرُ فِى الْقُرَانِ كَمَا يُذْكَرُ الرِّجَالُ؟ فَلَمْ يَرْعِنِى مِنْهُ ذَاتَ يَوْمٍ إِلاَّ نِدَاؤُهُ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَقُوْلُ (إِنَّ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ إلى اخر الاية)
Artinya :
“Aku telah bertanya: Rosulallah, mengapa kamu tidak disebutkan dalam Al-Qur’an seperti kaum laki-laki? Maka pada suatu hari dikejutkan oleh seruan Rosulallah di atas mimbar. Ia membacakan : Sesungguhnya laki-laki dan perempuan Muslim...... sampai akhir ayat 35 Surat Al-Ahzab)

Diriwayatkan pula oleh Hakim dari Ummu Salamah yang mengatakan :
“Kaum laki-laki berperang sedang perempuan tidak. Disamping itu kami hanya memperoleh warisan setengah bagian? Maka Allah menurunkan ayat : Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan (An-Nisa: 32) dan ayat Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim.....”

E. Keumuman Lafadz dan Kekhususan Sebab
Dalam memahami teks Al-Qur’an, ada hal menarik yangg sampai sekarang orang tidak pernah melupakannya, khususnya orang-orang yang menggeluti masalah hukum Islam. Misalkan telah terjadi satu pertanyaan, kemudian satu ayat turun untuk memberikan penjelasan atau jawabannya, tetapi ungkapan ayat tersebut menggunakan redaksi ‘amm (umum) sehingga tidak terbatas pada kasus pertanyaan itu.
Sebagian berpendapat bahwa pemahaman terhadap al-Qur’an harus disesuaikan dengan konteks saat dinuzulkan ayat. Sebagian lagi berpendapat bahwa pemahaman itu harus didasarkan atas keumuman lafazh ayat, bukan didasarkan atas kekhususan sebab nuzulnya. Dua pemahaman ini melahirkan dua kaidah yakni اَلْعِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لاَ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ dan بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لاَ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ اَلْعِبْرَةُ
Dalam hal ini mayoritas ulama berpendapat bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafazh dan bukan kekhususan sebab (al-‘ibrah bi ‘umum al-lafdzi la bi khusus as-sabab). Hukum yang dibawa lafadz umum akan mencakup semua individu lafadz tersebut, baik itu semua individu sebab itu sendiri maupun individu di luarnya. Misalnya Hilal bin Umayyah menuduh istrinya berzina, sehingga turun ayat (وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ اَزْوَاجَهُمْ ) hingga akhir. Kendati disini sebabnya khusus, yakni tuduhan berzina oleh Hilal terhadap istrinya, namun ayatnya turun dengan lafal umum. Oleh karena itu, hukum ini mencakup semua orang yang menuduh istrinya berzina tanpa menghadirkan saksi, tidak terbatas pada Hilal seorang yang dijadikan sebab nuzul.
Ibn Taimiyah berpendapat bahwa banyak ayat yang diturunkan berkenaan dengan kasus tertentu, bahkan kadang-kadang menunjuk pribadi seseorang, namun dipahami berlaku umum. Misalnya surat Al-Maidah ayat 49 tentang perintah kepada Nabi untuk mengadili secara adil, ayat ini sebenarnya diturunkan bagi kasus Bani Quraidzah dan Bani Nadhir. Namun Ibn Taimiyah berpendapat tidak benar jika lalu dikatakan bahwa perintah kepada Nabi itu hanya berlaku adil terhadap kedua kabilah itu.
Selain itu ada juga ulama yang berpendapat bahwa ungkapan satu lafazh Al-Qur’an harus dipandang dari segi kekhususan dan bukan dari keumuman lafadz
اَلْعِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لاَ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ . Cakupan ayat tersebut terbatas kepada kasus yang menyebabkan diturunkannya sebuah ayat. Untuk mengetahui hukum terhadap peristiwa itu diperlukan analogi (qiyas), bukan dari nash itu sendiri.
Dengan demikian ayat qadzaf, umpamanya diturunkan khusus sehubungan dengan kasus Hilal dan istrinya. Adapun kasus lainnya yang serupa dengan kasus tersebut, hukumnya ditetapkan dengan melalui jalan qiyas.

F. Fungsi dan Kegunaan Mengetahui Asbab an-nuzul
Mengetahui Asbab an-nuzul sangat besar pengaruhnya dalam memahami makna ayat yang mulia. Banyak ayat al-Qur’an yang tak mungkin bisa dipahami tanpa diketahui lebih dahulu sebab nuzulnya. Sehubungan dengan itu Al-Suyuthi mengutip pandapat Al-Wahidi yang mengatakan : “Tidak mungkin mengetahui Tafsir Al-Qur’an tanpa memahami kisahnya dan keterangan mengenai sebab turunnya.”
Dengan itu kita dapat menentukan fungsi Asbab an-nuzul ini dalam ilmu tafsir; yaitu sebagai pengetahuan pembantu dalam memahami, menafsirkan serta memformulasikan ayat Al-Qur’an menjadi ajaran praktis yang dapat dan mudah diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Diantara faedah dari mengetahui Asbab an-nuzul adalah
1. Mengetahui sebab nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna Qur’an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya.
2. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian yang umum.
3. Mengkhususkan hukum yang terkadung dalam Al-Qur’an bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan sebab yang bersifat khusus (khusus as-sabab) dan bukan lafadz yang bersifat umum (umum al-lafdz).
4. Mengidentifikasi pelaku yang menyebabkan turunnya ayat Al-Qur’an.
5. Membantu mempermudah penghafalan dan pemahaman, disamping dapat membantu meletakkan ayat-ayat bersangkutan berada dalam hati setiap orang yang mendengarnya bila ayat-ayat ini dibacakan.

G. Kesimpulan
Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah, yang berbentuk wahyu yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai petunjuk bagi manusia. Karena itu AL-Qur’an tentunya harus dikaji dan dipahami serta diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Pengkajian dan pemahaman Al-Qur’an membutuhkan beberapa ilmu bantu, yang salah satunya adalah asbab an-nuzul.
Asbab an-nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya satu atau beberapa ayat, yang memiliki ruang lingkup pembahasan yang berkaitan langsung dengan peristiwa diturunkannya ayat al-Qur’an, terutama dalam hubungan peristiwa yang terjadi ataupun sebagai jawaban atas pertanyaan.
Pedoman dasar dalam mengetahui asbab an-nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rosulallah atau shahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang shahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat (ra’y), tetapi ia punya hukum marfu’ (disandarkan kepada Rosulallah).
Dalam penerapannya mayoritas ulama berpendapat bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafazh dan bukan kekhususan sebab (al-‘ibrah bi ‘umum al-lafdzi la bi khusus as-sabab), sehingga hukum yang dibawa lafadz umum akan mencakup semua individu lafadz tersebut, baik itu semua individu sebab itu sendiri maupun individu di luarnya.
Pengetahuan Asbab an-nuzul ini menduduki fungsi yang penting dan sangat berguna, yaitu sebagai pengetahuan pembantu dalam memahami, menafsirkan serta memformulasikan ayat Al-Qur’an menjadi ajaran praktis yang dapat dan mudah dapat diterapkan dalam dunia modern sekarang ini, sehingga mudah untuk diamalkan.


DAFTAR PUSTAKA


Abd. Wahab, Al-Sayyid Iwadullah. 1985. Al-Mu’jam al-Wasit. Kairo: Dar al-
Hindisiyyah

Abd Al-Azhim Al-Zarqani, Muhammad. 1996. Manahil al-Irfan Fi ‘Ulum Al-
Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah

Anwar, Rosihan. 2004. Ulumul Qur’an. Bandung, CV. Pustaka Setia

As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Qur’an. Jakarta: Pustakan Firdaus

Ash Shidieqy, M. Hasbi. 1992. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir,
Jakarta: Bulan Bintang,

As-Suyuti, Jalaludin, 1986. Riwayat Turunnya Ayat-Ayat Suci Al-Qur’an Nuzul,
Surabaya: Mutiara Ilmu. sebuah terjemahan. Judul Asli, Lubabun Nuqul fi Asbab un

Khalil al-Qattan, Mana. 2007, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta. Litera AntarNusa

Syafe’i, Rachmat. 2006. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia

Supiana, M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir Bandung:
Islamika

Yunus, Mahmud. 1973. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung

Jumat, 16 Juli 2010

DUALISME DAN DIKOTOMI PENDIDIKAN DI INDONESIA

DUALISME DAN DIKOTOMI PENDIDIKAN

DI INDONESIA

Oleh : Bubun Sihabul Millah

A. Pendahuluan

Dualisme adalah dua prinsip yang saling bertentangan[1]. Secara terminologi dualisme dapat diartikan sebagai dua prinsip atau paham yang berbeda dan saling bertentangan.

Sedangkan dikotomi yang dalam bahasa Inggris adalah dichotomy adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian.[2] Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian dua kelompok yang saling bertentangan.[3] Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam[4].

Dalam kontek pendidikan Marwan Sarijo[5] menyatakan bahwa istilah dualisme dan dikotomi memiliki makna yang sama yaitu pemisahan antara pendidikan umum dari pendidikan agama. Dengan pemaknaan di atas, dualisme dan dikotomi pendidikan adalah pemisahan sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan atau ilmu umum. Dualisme dan dikotomi ini, bukan hanya pada tataran pemilahan tetapi masuk pada wilayah pemisahan, dalam operasionalnya pemisahan mata pelajaran umum dengan mata pelajaran agama, sekolah umum dan madrasah, yang pengelolaannya memiliki kebijakan masing-masing.

Di Indonesia, bidang pendidikan ditangani oleh dua departemen yakni Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Dalam pelaksanaannya Departemen Pendidikan Nasional membawahi lembaga pendidikan mulai TK, SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi Umum. Sedangkan Departemen Agama mengurusi lembaga pendidikan dari RA, MI, MTs, MA, hingga Perguruan Tinggi Agama Islam (UIN/IAIN/STAIN) dan PTAIS.[6] Menyikapi manajemen pendidikan seperti itu, menghadirkan pemahaman adanya dualisme dan dikotomi penyelenggaraan pendidikan, yakni adanya sekolah umum dan sekolah agama. Kedua lembaga penyelenggara pendidikan tersebut semua diakui sah dan merupakan bagian sistem pendidikan nasional.

Adanya dikotomi dan dualisme pendidikan tidak lepas dari aspek sejarah dan kebijakan pendidikan yang telah berkembang di Indonesia sehingga untuk memahaminya dapat menggunakan pendekatan sejarah dan kebijakan pendidikan. Untuk itu dalam makalah ini penulis akan mengkaji akar permasalahan munculnya dualisme dan dikotomi pendidikan di Indonesia yang ditinjau secara historis dan ditinjau dari segi kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan upaya pengintegrasian pendidikan umum dengan pendidikan agama.

B. Tinjauan Historis Dualisme dan Dikotomi Pendidikan di Indonesia

Tidak ada yang menyangkal bahwa dualisme maupun dikotomi dari sistem pendidikan di Indonesia, yaitu pendidikan umum di satu pihak dan pendidikan agama dipihak lain adalah merupakan warisan dari zaman kolonial Belanda.[7]

Orang-orang Belanda beserta keluarganya memerlukan pendidikan dan latihan baik mengenai pengetahuan umum maupun pengetahuan khusus tentang Indonesia, disamping itu VOC memerlukan juga tenaga-tenaga pembantu (murah) dari penduduk pribumi. Kepada mereka perlu diberikan pendidikan sedikitnya untuk menjalankan tugasnya.[8] Hal ini juga dimaksudkan agar kekuasaan dan misionarisnya dapat berjalan dengan sukses dan lancar. Sudah barang tentu sekolah-seolah tersebut didirikan dengan berbagai kriteria dan variasinya secara diskriminatif yang bertujuan untuk mempertahankan perbedaan sosial, mengkristenkan masyarakat pribumi dan menjadikan rakyat sebagai pegawai atau pekerja kasar atau murahan.[9]

Oleh karena itu, kalaulah pada akhirnya Belanda membuka kesempatan pendidikan bagi rakyat pribumi, tetapi tujuannya tidak lain membentuk kelas elit dan menyiapkan tenaga terdidik sebagai buruh rendah/kasar.[10] Pemerintah menanamkan dualisme dalam pendidikan yaitu dengan adanya sekolah untuk anak Belanda dan untuk anak pribumi (pendidikan Islam), sekolah untuk orang yang berada dan untuk yang tak berada, sekolah yang memberi kesempatan untuk melanjutkan pelajaran dan yang tidak memberi kesempatan. Pendeknya pendidikan hanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan perbedaan sosial, bukan untuk mobilitas sosial.[11]

Pemerintah Belanda menerapkan pengawasan dan kontrol yang sangat ketat dan kaku, kontrol yang ketat ini dijadikan alat politik untuk menghambat dan bahkan menghalang-halangi pelaksanaan pendidikan Islam,[12] dengan membentuk suatu badan yang khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut Priesnterraden.

Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi pendidikan Islam adalah penerbitan Ordonansi Guru. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari pemerintah. Tidak setiap orang, meskipun ahli ilmu agama, dapat mengajar di Lembaga-lembaga pendidikan.[13] Dalam perkembangannya, Ordonansi Guru itu sendiri mengalami perubahan dari keharusan guru adama mendapatkan surat izin menjadi keharusan guru agama itu cukup melapor dan memberitahu saja.[14] Peraturan ini mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam, Al-Irsyad, Nahdatul Watan dan lain-lain.[15] Pada tahun-tahun itu memang sudah terasa adanya ketakutan dari pemerintah Belanda terhadap kebangkitan pribumi.[16]

Selain Ordonansi Guru, pemerintah Belanda mengeluarkan pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah yang disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie). Selain itu untuk lingkungan kehidupan agama Kristen di Indonesia yang selalu menghadapi reaksi dari rakyat, dan untuk menjaga sekolah umum yang kebanyakan muridnya beragama Islam, maka pemerintah mengeluarkan peraturan yang disebut netral agama.[17] Seperti yang dinyatakan pada Indische Staatsregeling bahwa pendidikan umum adalah netral, yang berarti pengajaran diberikan dengan menghormati keyakinan masing-masing.[18] Namun disekolah umum untuk kalangan pribumi, pada HIS dan MULO diberikan pelajaran agama Islam, secara sukarela sekali dalam seminggu bagi murid-murid yang berminat atas persetujuan orang tuanya.[19]

Pemerintah Belanda sendiri yang melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan bagi pribumi, membentuk dua lembaga, yaitu Departemen van Onderwijst en Eerendinst untuk mengawasi pengajaran agama di sekolah umum dan Departemen van Binnenlandsche Zaken untuk pendidikan Islam dilembaga pendidikan Islam.[20] Kebijakan pemerintah kolonial yang memarjinalkan aspirasi dan kepentingan kalangan muslim menjadi cikal bakal terciptanya dualitas pengaturan negara terhadap berbagai masalah yang berhubungan dengan kepentingan kalangan muslim. Hal tersebut terutama tergambar dari dualitas dalam sistem pendidikan dan sistem peradilan.[21] Dibidang pendidikan, sikap netral terhadap pendidikan agama yang menjadi kebijakan pemerintah Belanda didalam praktik diikuti oleh aturan yang dipandang oleh kalangan muslim sebagai usaha mengebiri aspirasi keagamaan mereka. Dibidang peradilan yang berkaitan dengan penerapan syariat dan ketentuan hukum Islam di dalam kehidupan keluarga muslim, pemerintah Belanda membentuk lembaga peradilan tersendiri yang terpisah dari lembaga peradilan umum, yaitu dengan dibentuknya Mahkamah Syari’ah.[22]

Pada satu sisi kebijakan tersebut melahirkan kondisi psikologis “sebagai warga kelas dua” dikalangan muslim. Kondisi ini diperparah oleh kenyataan lahirnya pengelompokkan sosial masyarakat Indonesia sebagai produk dari dualitas sistem pendidikan dan peradilan, yaitu disatu pihak adalah kelompok muslim yang merasa perlu terus memperjuangkan aspirasi dan kepentingan keagamaannya dalam proses kehidupan bernegara. Dilain pihak adalah kelompok yang merupakan produk dari sistem pendidikan Barat di sekolah-sekolah Belanda yang mempunyai pandangan “sekuler” atau netral terhadap agama, bahwa agama merupakan urusan pribadi yang terpisah dari urusan publik dan urusan agama.[23]

Kebijakan yang kurang menguntungkan terhadap pendidikan Islam masih berlanjut pada masa penjajahan Jepang. Walaupun diakui lebih memberikan kebebasan daripada penjajahan Belanda, tetapi kebijakan dasar pemerintahan penjajahan Jepang berorientasi pada penguatan kekusasaannya di Indonesia,[24] dan pendidikan Islam di zaman Jepang adalah sebuah usaha untuk membantu kelangsungan perang Asia Timur Raya, sehingga eksploitasi kemanusiaan benar-benar terjadi.[25]

Untuk memperoleh dukungan dari umat Islam, pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan yang menawarkan bantuan dana bagi sekolah dan madrasah. [26] Selain itu untuk mengamankan kepentingannya, pemerintah Jepang banyak mengangkat kalangan priyayi dalam jabatan-jabatan di Kantor Urusan Agama, yang bertugas antara lain mengorganisasikan pertemuan dan pembinaan guru-guru agama. Meskipun dengan alasan pembinaan kecakapan, tetapi usaha itu pada dasarnya bertujuan agar pelaksanaan pendidikan Islam baik di madrasah maupun pesantren tetap dalam kontrol pemerintah.[27]

C. Dualisme dan Dikotomi : Telaah Kebijakan Pemerintah Dalam Pendidikan

Kebijakan negara di bidang pendidikan merupakan produk dari sebuah proses politik yang melibatkan berbagai elemen politik yang ada di lembaga legislatif dan eksekutif. Mereka yang terlibat di dalam proses pengambilan kebijakan negara dan keputusan politik adalah orang-orang yang diberi mandat untuk mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat dan masyarakat luas. Sebagai produk dari keputusan politik, kebijakan negara di bidang pendidikan merupakan cermin dar politik pendidikan nasional yang memberikan implikasi terhadap sistem, kelembagaan, kurikulum dan proses pendidikan.[28]

Pada masa-masa awal kemerdekaan, Indonesia mengembangkan lembaga pendidikan persekolahan sebagai mainstraim sistem pendidikan nasional. Secara pragmatis, hal ini dilakukan agaknya karena pengelolaan pendidikan yang diwariskan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian pergumulan antara sistem pendidikan ‘nasional dengan sistem pendidikan Islam pun terus berlangsung.[29]

Secara operasional, persoalan dualisme dan dikotomi pendidikan tersebut membawa dampak berupa pengelolaan pendidikan nasional yang tidak punya dasar pijakan yang jelas. Hal ini terjadi karena dalam pelaksanaannya pemerintah Indonesia menganut pola kolonialisme Belanda,[30] juga merupakan refleksi dari pergumulan dua basis politik, Islam dan Nasionalisme, yang sejak awal kemerdekaan tidak bisa dielakkan.[31]

Ketika undang-undang pendidikan nasional pertama yaitu, UU No. 4 Tahun 1950 (tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah) diundangkan, madrasah dan pesantren sebagai pendidikan Islam tidak dimasukan sama sekali ke dalam sistem pendidikan nasional, yang ada hanya masalah pendidikan agama yang diajarkan di sekolah (umum)[32], pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem dari sistem pendidikan nasional, tetapi merupakan lembaga pendidikan di bawah Menteri Agama.[33] Menurut pemerintah hal ini disebabkan karena sistem pendidikan Islam lebih didominasi oleh muatan-muatan agama, yang menggunakan kurikulum belum terstandarkan, memiliki struktur yang tidak seragam, dan memberlakukan manajemen yang kurang dapat dikontrol oleh pemerintah.[34]

Masalah kurikulum merupakan salah satu pertimbangan dalam pemberian pengakuan pemerintah terhadap sekolah agama, sebab sekolah agama dan lembaga pendidikan Islam umumnya lebih memfokuskan kurikulumnya pada tafaqqahu fiddin, yang difokuskan pada bidang keislaman. Masalah kurikulum pendidikan ini yang menjadi salah satu pembeda sistem pendidikan yang berlangsung. Disamping itu administrasi berupa pengaturan dan pengawasan pendidikan oleh dua departemen yang berbeda, yaitu departemen pendidikan nasional dan departemen agama juga menjadi faktor pembeda yang lain.[35]

Pada tahun 1974, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang kewenangan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di bawah satu pintu, yaitu oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pendidikan agama. Keputusan itu diikuti oleh Inpres No. 15 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut. Ternyata keputusan ini mendapat tantangan keras dari kalangan Islam.[36] Alasannya bahwa dengan menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional memang madrasah akan mendapat status yang sama dengan sekolah, tetapi dengan status ini terdapat kongkurensi bahwa madrasah harus dikelola oleh Depdikbud sebagai satu-satunya departemen yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional. Mereka lebih menghendaki madrasah tetap berada di bawah Departemen Agama.[37]

Bahkan sebagian umat Islam memandang Kepres dan Inpres tersebut sebagai manuver untuk mengabaikan peranan dan manfaat madrasah,[38] juga dipandang sebagai langkah untuk mengebiri tugas dan peranan Departemen Agama dan bagian dari upaya sekulerisasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Hal ini cukup beralasan dikaitkan dengan setting sosial politik yang berlangsung pada awal pemerintah Orde Baru yang menerapkan kebijakan politik yang memarjinalkan politik Islam melalui pengebirian partai politik Islam.[39]

Munculnya reaksi keras dari umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru. Pemerintah kemudian mengambil kebijakan yang lebih operasional dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pada tanggal 24 Maret 1975, yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama[40] yaitu No. 6 Tahun 1975; No. 037/U/1975; dan No. 36 Tahun 1975. Inti dari ketetapan dari SKB Tiga Menteri ini adalah ; (1) agar madrasah untuk semua jenjang dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat; (2) agar lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat dan lebih atas; (3) agar siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat, maka kurikulum yang diselenggarakan madrasah harus terdiri dari 70% mata pelajaran umum dan 30% mata pelajaran agama.[41]

Sebagai realisasi dari SKB Tiga Menteri itu, maka pada tahun 1976 Departemen Agama mengeluarkan kurikulum yang menjadi acuan oleh madrasah, baik untuk MI, MTs, maupun Madrasah Aliyah.[42] Dengan diberlakukannya kurikulum standar yang menjadi acuan, berarti telah terjadi keseragaman dalam bidang studi agama, baik kualitas maupun kuantitasnya. Kemudian adanya pengakuan persamaan yang sepenuhnya antara madrasah dengan sekolah-sekolah umum setaraf, serta madrasah akan mampu berperan sebagai lembaga pendidikan yang memenuhi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mampu berpacu dengan sekolah-sekolah umum dalam rangka mencapai tujuan nasional.[43]

Kemudian pada tahun 1984 dikeluarkan SKB dua menteri antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama Nomor 299/U/1984 dan Nomor 45 tahun 1984 tentang pengaturan pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah. SKB ini dijiwai oleh ketetapan MPR Nomor II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya penyesuaian sistem pendidikan sejalan dengan kebutuhan pembangunan disegala bidang, antara lain dilakukan melalui perbaikan kurikulum sebagai salah satu diantara berbagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dan madrasah.[44]

Namun hasil dari SKB ini belum memuaskan, Secara intelektual, persoalan muncul dengan adanya dikotomisasi kurikulum, yakni kurikulum umum dan kurikulum agama. Akibatnya, terjadi pula dikotomisasi kelulusan antar dua lembaga. Lebih parah lagi ditinjau dari sisi keahlian, adanya dikotomisasi itu seakan-akan telah menciptakan label Islam dan label non-Islam terhadap kelulusan pendidikannya.[45] Selain itu karena masih sering lulusan madrasah mendapat perlakuan diskriminatif karena dianggap kemampuan umumnya belum setara dengan sekolah umum. Ketika masuk ke perguruan tinggi atau ke dunia kerja perlakuan diskriminatif tersebut sangat dirasakan oleh lulusan madrasah sebagai produk pendidikan Islam.[46]

D. Integrasi Pendidikan Agama dan Umum : Solusi Atas Dualisme dan Dikotomi Pendidikan di Indonesia

Selanjutnya, ada upaya pemerintah untuk mengintegrasikan dualisme pendidikan. Sebagai bagian dari proses pencarian rumusan sistem pendidikan nasional yang lebih utuh, dimana pergumulan itu secara bertahap menghasilkan penyesuaian-penyesuaian yang cukup signifikan melalui proses yang panjang dan kerap kali menimbulkan ketegangan politik diantara eksponen yang berbeda pandangan.[47] Kecenderungan untuk menyintesiskan dua kutub pendidikan nasional Perlahan namun pasti, dualisme dan dikotomi antara madrasah dan sekolah umum mulai pudar. Fenomena itu terlihat, terutama seklai setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 28 dan 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, serta diberlakukannya Kurikulum 1994, dimana madrasah berubah statusnya menjadi sekolah berciri khas Islam.[48]

Dr. Mochtar Naim menilai Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional – untuk selanjutnya disingkat UUSPN - tidak berpikir dalam konteks upaya untuk menyatukan pendidikan di Indonesia. Bagi mereka yang menginginkan integrasi total baik sistem maupun dari segi pengelolaan, barangkali memang menganggap UUSPN masih mempertahankan status-quo.[49] Terlepas dari berbagai penilaian apakah UUSPN tetap melestarikan status quo atau tidak, isi UUSPN telah meletakkan dasar-dasar yang kuat yang dapat dijadikan tolak ukur untuk mendekatkan berbagai kutub pendidikan yang dualistis dan dikotomis di Indonesia.[50]

Salah satu titik penyesuaian itu terletak pada cakupan sistem pendidikan yang komprehensif. Hal ini sesuai dengan yang ditekankan UUSPN pasal 1 butir 3 yang menyiratkan secara tegas, bahwa yang disebut dengan sistem pendidikan nasional adalah satu keseluruhan terpadu dari semua satuan, jenis dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan yang lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional.[51] Dengan demikian, termasuk ke dalam bagian dari sistem pendidikan nasional itu adalah lembaga pendidikan keagamaan.[52]

Penyesuaian lain terjadi pada kurikulum pendidikan nasional yang menempatkan agama sebagai salah satu muatan wajib dalam semua jalur dan satuan pendidikan. Hal ini memberi jaminan adanya komitmen keagamaan (religiusity) dalam pendidikan nasional sehingga tidak sepenuhnya bersifat sekuler. Meskipun dalam kenyataanya lembaga persekolahan tetap merupakan mainsteam dari sistem pendidikan nasional, tetapi pengajaran agama di dalam pendidikan itu merupakan kewajiban kurikuler.[53]

Akan tetapi kenyataan ini tidak dapat menghilangkan paradigma dualisme dan dikotomi pengelolaan yang selama ini melingkupi pendidikan nasional. Dikotomi atau dualisme itu mengabsahkan dua wilayah yang berhadap-hadapan secara vis-a-vis. Dalam artian, Departemen Agama sebagai otoritas pengelolaan pendidikan agama berhadapan dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan selaku pengelola pendidikan umum.[54]

Dampak dari kenyataan tersebut dapat dirasakan bahwa meskipun Madrasah yang dikelola oleh Departemen Agama secara intuisi pendidikan telah diakui oleh UUSPN No. 2 Tahun 1989 sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, namun perwujudan makna pengakuan tersebut masih belum sesuai dengan jiwa undang-undang tersebut. Hal ini dapat dilihat dari alokasi anggaran untuk pembinaan dan pengembangan mutu madrasah belum sebanding dengan anggaran yang diberikan kepada sekolah-sekolah yang berada dalam naungan Depdiknas.[55] Dengan perhatian pemerintah yang tidak seimbang antara kedua lembaga pendidikan tersebut, maka sangat logis bila kemudian mutu pendidikan agama Islam, khususnya madrasah ada di bawah pendidikan umum asuhan Depdiknas.[56]

Selain itu otonomi daerah sesuai dengan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menjadikan pergeseran paradigm dari sistem pemerintahan yang bercorak sentralistik mengarah kepada sistem pemerintahan yang desentralistik.[57] Undang-undang tersebut telah menimbulkan perubahan besar, bukan hanya dalam pemerintahan dan birokrasi, tetapi juga dalam bidang pendidikan.[58] Pendidikan umum yang berada di bawah naungan Depdiknas (dulu Depdikbud) ikut mengalami desentralisasi, sementara pendidikan agama yang berada di bawah naungan Departemen agama masih belum jelas; apakah tetap berada di bawah koordinasi dan pengawasan pusat, atau juga didesentralisasikan, berada di bawah pengawasan, koordinasi wewenang pemerintah daerah.[59]

Pada UU No. 22 Tahun 1999 padal 7 ayat (1) menyatakan bahwa weewenang daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya. Di lain pihak pada pasal 11 ayat (2) menyatakan bahwa pendidikan dan kebudayaan salah satu dari 11 bidang yang wajib dilaksanakan daerah kabupaten dan daerah kota.[60] Pertanyaan yang muncul dari penafsiran terhadap dua pasal di atas adalah apakah madrasah termasuk dalam bidang pendidikan ataukah bidang agama ? disini muncul dua pendapat :

Pertama ; yang mengatakan bahwa pendidikan agama dan pendidikan lain yang diasuh Departemen Agama tidak diotonomikan sebagaimana maksud pasal 7 ayat (1) dari UU No. 22 Tahun 1999. Ini berarti pendidikan di Departemen Agama dikatagorikan sebagai bagian dari sistem agama, bukan bagian dari sistem pendidikan nasional.

Kedua ; yang mengatakan bahwa pendidikan agama dan pendidikan yang dikelola Departemen Agama adalah bagian dari sistem pendidikan nasional. Karena pendidikan diotonomikan, maka pendidikan di lingkungan Departemen Agama juga harus diotonomikan. [61]

Departemen Agama dihadapkan pada dua pilihan sulit ; (1) tetap melakukan pembinaan madrasah secara sentralistik, yaitu langsung di bawah aungan departemen Agama; atau (2) menyerahkan pembinaan madrasah kepada pemerintah sebagai konsekwensi logis dari pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan.[62] Pilihan mana yang akan diambil oleh Departemen Agama jelas akan mengandung konsekwensi dan dampak masing-masing. Tetapi, terlepas dari pilihan mana yang akan diambil, semangat dan proses otonomi dan desentralisasi - suka atau tidak suka – mempengaruhi keseluruhan sistem pendidikan agama.[63]

Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, adalah hal yang wajar dan logis, sebab Undang-Undang lama (UU Nomor 2 Tahun 1989) menurut Anwar Arifin, “sudah tidak sesuai dengan otonomi daerah yang digulirkan lewat UU No. 22 Tahun 1999 dan UU tersebut juga sarat dengan hegemoni pemerintah terhadap pendidikan.[64]

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 telah mengakomodasi prinsip otonomi daerah dan mengantisifasi persaingan global. Salah satu prinsip yang mendasar dari prinsip otonomi yang diakomodasi adalah adanya pengakuan terhadap otonomi sekolah, di samping penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat serta pembedaaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. Karena ini karena adanya tuntutan untuk diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam berbangsa dan bernegara.[65]

Selain itu dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari amanat UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Dalam pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa standar nasional pendidikan adalah criteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.[66] Hal tersebut adalah untuk menjembatani mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.[67]

Undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut telah memberi peluang yang sama untuk mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak ada diskriminasi di mata negara, sehingga diharapkan dapat menjembatani dualisme dan dikotomi dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia.

E. Kesimpulan

Istilah dualisme dan dikotomi memiliki makna yang sama yaitu pemisahan antara pendidikan umum dari pendidikan agama. Dualisme dan dikotomi ini, bukan hanya pada tataran pemilahan tetapi masuk pada wilayah pemisahan, dalam operasionalnya pemisahan mata pelajaran umum dengan mata pelajaran agama, sekolah umum dan madrasah, yang pengelolaannya memiliki kebijakan masing-masing oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama.

Sistem pendidikan nasional Indonesia pada awalnya diakui sebagai bentuk sistem yang terbentuk dari sistem pendidikan yang dualistik antara pendidikan umum dan pendidikan agama (Islam). Dualisme itu sendiri pada awalnya merupakan produk penjajahan Belanda namun sampai batas tertentu juga merupakan refleksi dari pergumulan dua basis politik, Islam dan Nasionalisme.

Bentuk dualisme dan dikotomi pendidikan itu dapat dilihat dari kebijakan pemerintah baik dari kebijakan dalam undang-undang pendidikan nasional, Peraturan Pemerintah. Dengan demikian pergumulan antara sistem pendidikan nasional dengan sistem pendidikan Islam pun terus berlangsung, melalui proses yang panjang lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang diharapkan mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat yang dapat dijadikan tolak ukur untuk mendekatkan berbagai kutub pendidikan yang dualistis dan dikotomis di Indonesia.

Akan tetapi kenyataan ini tidak dapat menghilangkan paradigma dualisme dan dikotomi pengelolaan yang selama ini melingkupi pendidikan nasional. Departemen Agama sebagai otoritas pengelolaan pendidikan agama berhadapan dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan selaku pengelola pendidikan umum sehingga muncul persoalan adanya dikotomisasi kurikulum, diskriminasi lulusan, kebijakan moneter yang tidak seimbang dan lain-lain

Dengan UU. No. 20 Tahun 2003 dan PP. No. 19 Tahun 2005 diharapkan mampu prinsip otonomi yang diakomodasi adalah adanya pengakuan terhadap otonomi sekolah, di samping penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat serta pembedaaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. Undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut telah memberi peluang yang sama untuk mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak ada diskriminasi di mata negara, sehingga diharapkan dapat menjembatani dualisme dan dikotomi

DAFTAR PUSTAKA

Ali Riyadi, Politik Pendidikan Menggugat BirokrasiPendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006)

Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekontruksi dan Demokratisasi, (Jakarta : Kompas, 2006)

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, "Dualisme", Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1989)

E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Sebuah Panduan Praktis, (Bandung : Rosdakarya 2008)

Husni Rahim, arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000),

John M. Echols dan Hassan Shadily, "dichotomy", Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia Utama, 1992),

Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999)

Marwan Saridjo, Bunga Rampa Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco, 1996)

Maslani, Jurnal Media Pendidikan, (Bandung : Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD Bandung, 2007) Vol XXII

Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991), hlm. 104.

Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: PT RajaGradindo Persada, 2009)

Sumarsono Mestoko, PendidikanIndonesia dari Jaman ke Jaman, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1979)

Suwito, Fauzan, Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara, Studi Perkembangan Sejarah dari Abad 13 hingga Abad 20 M, (Bandung: Angkasa: 2004)

Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentan Pendidikan (Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2006)

Usman Abu Bakar dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Safira Insan Press, 2005)

UU No. 2 Tahun 1989 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Yuyun Yulianingsih, Jurnal Media Pendidikan (Bandung : Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD Bandung, 2007) Vol XXII

Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 2008)



[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, "Dualisme", Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), cet. 2, hlm. 214..

[2] John M. Echols dan Hassan Shadily, "dichotomy", Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia Utama, 1992), hlm. 180.

[3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit. hlm. 205

[4] Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991), hlm. 104.

[5] Marwan Saridjo, Bunga Rampa Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco, 1996), hlm. 22

[6] Lihat UU No. 2 Tahun 1989 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

[7] Marwan Saridjo, Bunga Rampa Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco, 1996), hlm. 22

[8] Sumarsono Mestoko, PendidikanIndonesia dari Jaman ke Jaman, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1979), hlm 41

[9] Suwito, Fauzan, Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara, Studi Perkembangan Sejarah dari Abad 13 hingga Abad 20 M, (Bandung: Angkasa: 2004), hlm159

[10] Ibid, hlm 161

[11] Ibid, hlm 164

[12] Suwito, Fauzan, Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara, Studi Perkembangan Sejarah dari Abad 13 hingga Abad 20 M, (Bandung: Angkasa: 2004), hlm. 164

[13] Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm 115

[14] Ibid

[15] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 2008), cet. IX, hlm. 149

[16] Ibid, hlm. 149

[17] Ibid, hlm 150

[18] Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: PT RajaGradindo Persada, 2009), hlm. 125

[19] Husni Rahim, arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), hlm. 57

[20] Ibid, hlm. 55

[21] Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: PT RajaGradindo Persada, 2009), hlm. 133

[22] Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: PT RajaGradindo Persada, 2009), hlm. 132

[23] Ibid, hlm. 133

[24] Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm 118

[25] Suwito, Fauzan, Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara, Studi Perkembangan Sejarah dari Abad 13 hingga Abad 20 M, (Bandung: Angkasa: 2004), hlm. 164

[26] Maksum, Op. Cit, hlm, 115

[27] Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm 119

[28] Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: PT RajaGradindo Persada, 2009), hlm. 193

[29] Husni Rahim, Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005), hlm. 59

[30] Ali Riyadi, Politik Pendidikan Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm. 81

[31] Husni Rahim, Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005), hlm. 113

[32] Ibid, hlm. 17

[33] Ibid

[34] Ali Riyadi, Politik Pendidikan Menggugat BirokrasiPendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm. 82

[35] Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: PT RajaGradindo Persada, 2009), hlm. 183

[36] Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: PT RajaGradindo Persada, 2009), hlm. 184

[37] Husni Rahim, Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005), hlm. 18

[38] Ibid

[39] Nurhayati Djamas, Op. Cit, hlm. 184

[40] Husni Rahim, Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005), hlm. 18

[41] Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: PT RajaGradindo Persada, 2009), hlm. 185

[42] Maslani, dalam Media Pendidikan, Jurnal Pendidikan Keagamaan (Bandung : Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD Bandung, 2007) Vol XXII, No. 2, hlm. 301

[43] Ibid

[44] Ibid, hlm 304

[45] Ali Riyadi, Politik Pendidikan Menggugat BirokrasiPendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm. 83

[46] Husni Rahim, Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005), hlm 20

[47] Ali Riyadi, Politik Pendidikan Menggugat BirokrasiPendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm. 82

[48] Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekontruksi dan Demokratisasi, (Jakarta : Kompas, 2006), hlm. 71

[49] Marwan Saridjo, Bunga Rampa Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco, 1996), hlm. 28

[50] Marwan Saridjo, Bunga Rampa Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco, 1996), hlm 29

[51] Ali Riyadi, Politik Pendidikan Menggugat BirokrasiPendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm. 84

[52] Husni Rahim, Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005), hlm 59

[53] Ibid

[54] Ali Riyadi, Politik Pendidikan Menggugat BirokrasiPendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm. 84

[55] Husni Rahim, Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005), hlm. 1

[56] Ali Riyadi, Politik Pendidikan Menggugat BirokrasiPendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm. 79

[57] Husni Rahim, Op. Cit, hlm. 2

[58] Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekontruksi dan Demokratisasi, (Jakarta : Kompas, 2006), hlm. 95

[59] Ibid

[60] Husni Rahim, Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005), hlm. 2

[61] Ibid, hlm. 2-3

[62] Ibid

[63] Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekontruksi dan Demokratisasi, (Jakarta : Kompas, 2006), hlm. 95

[64] Yuyun Yulianingsih, Jurnal Media Pendidikan (Fak. Tarbiyah UIN SGD Bandung, 2007) Vol. XXII, hlm. 287

[65] Usman Abu Bakar dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Safira Insan Press, 2005), hlm. 91-91

[66] Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentan Pendidikan (Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2006)

[67] E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Sebuah Panduan Praktis, (Bandung : Rosdakarya 2008), cet. Ke-5, hlm. 44