Selasa, 03 Agustus 2010

HADITS DHA’IF

A. PENDAHULUAN

Para ahli hadits abad kedua hijrah tidak memisahkan hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in. Keadaan ini diperbaiki oleh ulama hadits abad ketiga hijrah. Ketika mengumpulkan hadits, mereka memisahkan hadits dari fatwa-fatwa itu. Akan tetapi, mereka masih mencampuradukan hadits shahih dengan hadits hasan dan dengan hadits-hadits dha’if. Segala hadits yang mereka terima, mereka bukukan dengan tidak menerangkan keshahihan, kehasanan dan kedha’ifannya.[1]

Ketika Umar bin Abdul aziz diangkat sebagai khalifah Bani Umayah pada tahun 99 H., beliau membuat kebijakan memerintahkan kepada gubernur Madinah, abu Bakar bin Muhamad bin Amr bin Hazmin yang menjadi guru Ma'mar, al-Laits, al-Auza'i, Malik, Ibnu Ishak dan Ibnu Abi Dzi'bin supaya membukukan hadits rasul yang terdapat pada penghapal wanita yang terkenal, Amrah binti Abdurahmanbin Saad bin zurarah bin Ades, seorang ahli fiqih murid Aisyah dan hadits-hadits yang ada pada al-Qasim bin Muhamad bin Abi Bakar al-Shidiq, seorang pemuka tabi'in dan salah seorang fuqaha tujuh di Madinah. Selain itu, Umar bin Abd al-Aziz juga mengirimkan surat kepada seluruh gubernur untuk membukukan hadits yang ada pada ulama setempat seperti kepada Abu Bakar Muhamad bin Muslim bin Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhri, seorang ulama tabi’in yang ahli dalam fiqih dan hadits. Dialah ulama besar pertama yang mula-mula membukukan hadits atas anjuran khalifah.[2]

Selain itu, seiring dengan pengumpulan dan penulisan hadits, Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 124 H.) juga membuat sebuah kaidah ilmu hadits untuk menilai tata cara penerimaan dan penyampain hadits kepada orang lain dan memindahkan atau mendewankan dalam suatu dewan hadits. Ilmu ini disusun dengan tujuan untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhamad Saw. IImu hadits ini dikenal dengan nama ilmu hadits riwayah.[3]

Kemudian, prestasi luar biasa yang tak kalah pentingnya adalah disusunnya pembagian hadits dalam tiga kategori: shahih, hasan dan dha’if. Setiap kategori dijelaskan jenisnya, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh rawi ataupun matan hadits. Dengan demikian dapat diketahui riwayat yang cacat, mudhtharib, syadz, ditolak atau ditangguhkan hingga diperoleh argumentasi lain yang menguatkan atau melemahkannya. Disamping itu dibahas pula tentang tata cara menerima, mempertimbangkan dan menetapkan kedudukan hadits tingkah laku ataupun penerimaannya.[4]

Prosedur penyeleksian dan penetapan originalitas suatu hadits dilakukan oleh ulama hadits misalnya dengan cara:

1. Mengisnadkan hadits, berkenaan dengan hal ini para sahabat dan tabi'in tidak pernah menanyakan tentang asal sumber berita, tetapi setelah terjadinya fitnah dikalangan umat Islam mereka mulai mempertanyakan asal sumber berita.

2. Memeriksa benar dan tidaknya hadits yang diterima, hal ini dilakukan dengan cara berusaha pergi bertanya kepada sahabat dan tabi'in serta imam-imam hadits.

3. Mengkritik periwayat dan menerangkan keadaan-keadaan mereka tentang kebenaran dan kedustaannya, dalam hal ini ulama mengalami kesulitan yang besar sekali karena mereka harus mempelajari sejarah periwayat hadits, perjalanan hidupnya, dan hal-hal yang tersembunyi bagi umum dari keadaan-keadaan para periwayat itu. Untuk itu ulama telah membuat kaidah umum untuk menetapkan para periwayat hadits boleh diterima riwayatnya atau tidak. Kaidah ini disebut ilmu al-jarh wa al-ta'dil.

4. Membuat kaidah umum untuk membedakan derajat-derajat hadits, ulama membagi hadits dalam beberapa derajat. Masing-masing derajat ditetapkan kaidah-kaidah untuk membedakannya dengan derajat yang lain. Mereka membuat kaidah-kaidah untuk menshahihkan dan mendha’ifkan suatu hadits.

5. Menetapkan kriteria-kriteria hadits maudhu, untuk menyaring hadits dan memisahkan hadits shahih, hasan dan dha’if dari maudhu mereka menetapkan dasar-dasar yang harus dipegang dalam menetapkan hadits-hadits maudhu.[5]

B. HADITS DHA’IF

1. Definisi Hadits Dha’if

Secara etimologi dha’if berarti lemah atau tidak kuat merupakan kebalikan dari qawiy yang berarti kuat. Sedangkan secara terminologi seperti menurut Ajaj Al-Khatib hadits dha’if adalah hadits yang didalamnya tidak terkumpul sifat maqbul.[6]

Al-Nawawi mendefinisikan hadits dha’if dengan hadits-hadits yang didalamnya tidak ditemukan syarat-syarat yang harus ada dalam hadits shahih dan hasan.[7] Sedangkan menurut Mahmud Thahan adalah hadits yang didalamnya tidak terkumpul syarat-syarat yang harus ada dalam hadits hasan lantaran tidak adanya satu syarat yang menjadi syarat-syarat hadits hasan.[8]

Dari beberapa definisi diatas, dapat dipahami bahwa jika dalam satu hadits telang hilang satu syarat saja dari sekian syarat-syarat yang harus ada dalam hadits shahih dan hasan maka hadits tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits dha’if.

2. Sebab-Sebab Muncul dan Tertolaknya Hadits Dha’if

a. Sebab-Sebab Munculnya Hadits Dha’if

Pada mulanya ulama menerima hadits dari para periwayat, lalu menuliskan kedalam bukunya dengan tidak menetapkan syarat-syarat penerimaan. Musuh yang berkedok dan dan berselimutkan Islam melihat kegiatan-kegiatan ulama hadits dalam mengumpulkan hadits menambah upaya untuk mengacaubalaukan hadits dengan cara menambah lafal atau membuat hadits maudhu.

Melihat kesungguhan musuh-musuh Islam dan menyadari akibat-akibat perbuatan mereka, maka ulama hadits bersungguh-sungguh membahas keadaan para periwayat hadits dari berbagai segi, seperti dalam hal keadilan, tempat, kediaman, masa dan lain-lain.

Upaya pentashhihan dan penyaringan hadits, atau memisahkan yang shahih dari yang dha’if dengan mempergunakan syarat-syarat pentashhihan baik mengenai periwayat, penyampaian dan penerimaan hadits melahirkan kitab-kitab shahih dan sunan.

Pada abad ketiga hijrah usaha pembukuan terhadap hadits-hadits Nabi Saw. mulai meningkat tajam. Sesudah kitab Ibnu Juraij dan al-Muwatha Malik tersebar di masyarakat serta disambut gembira maka timbul kemauan untuk menghapal hadits, mengumpulkan dan membukukannya. Pada saat itu para ahli ilmu mulai melakukan pencarian hadits dari negeri satu ke negeri yang lain.

Al-Bukhari adalah ulama perintis yang membuat langkah baru dalam menekuni dan mencari hadits sampai pada negeri-negeri seperti Maru, Naisaburi, Rey, Bagdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qaisariyah, Asqalan dan Himsah. Selama enam belas tahun lamanya beliau menjelajah keberbagai negari hanya untuk menyiapkan kitab shahihnya.[9]

b. Sebab-Sebab Tertolaknya Hadits Dha’if

Para ahli hadits mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadits ini dari dua segi, yaitu segi sanad dan matan hadits:

1. Sanad hadits yang memiliki kecacatan pada periwayatnya baik dalam hal keadilan maupun kedhabitannya seperti cacat dalam hal dusta disebut maudhu, tertududuh dusta disebut matruk, fasiq, banyak salah, lengah dalam hapalan disebut munkar, banyak wahamnya disebut mu'allal, menyalahi riwayat yang lebih tsiqah, adanya penambahan suatu sisipan disebut mudraj, adanya pemutarbalikan hadits disebut maqlub, adanya rawi hadits yang tertukar-tukar disebut mudhtharib, tertukarnya hurup dan syakal disebut muharraf, perubahan pada titik kata disebut mushahhaf, tidak diketahui identitasnya disebut mubham, penganut bid'ah dan tidak baik hapalannya disebut syadz dan mukhtalith.[10]

2. Sanadnya tidak bersambung seperti gugur pada sanad pertama disebut muallaq, gugur pada sanad terakhir disebut mursal, gugur dua orang rawi atau lebih secara berurutan disebut mu'dhal, gugur secara tidak berturut-turut disebut munqathi.[11]

Adapun sebab tertolaknya hadits dha’if dilihat dari segi matan adalah disebabkan karena hadits tersebut hanya sampai kepada sahabat saja (Mauquf) dan sampai kepada tabi'in saja (maqthu).[12]

3. Macam-Macam Hadits Dha’if

1. Dha’if dari Segi Sanad

a. Dhaif Karena Sanad Tidak Bersambung

1. Hadits Munqathi

Hadits Munqathi ialah hadits yang mata rantai sanadnya digugurkan dalam disatu tempat atau lebih atau pada matarantai sanadnya disebutkan nama seorang rawi yang namanya tidak dikenal atau diragukan.[13] Akan tetapi gugurnya sanad tersebut dibatasi jumlahnya hanya satu atau dua secara tidak berurutan. Al-Suyuthi menyebutkan bahwa gugurnya sanad tersebut sebelum sahabat atau pada tabaqah pertama[14]

Contoh Hadits Munqathi:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم اذادخل المسجد قال بسم الله والصلاةوالسلام على رسول لله اللهم اغفرلي ذنوبي وافتح لي ابواب رحمتك

"Rasulullah Saw. apabila masuk masjid memanjatkan doa: 'Dengan nama Allah, Shalawat dan salam atas Rasulullah. Ya Allah! Ampunilah dosa-dosaku dan bukalah pintu rahmat untuku"

Hadits yang ditakhrijkan oleh Ibnu Majah dengan sanad Abu Bakar Abi Syaibah, Ismail bin Ibrahim, al-Laits, Abdullah bin Hasan, Fatimah binti Husain dan Fatimah al-Zahra putri Rasulullah, ini terdapat inqitha seorang rawi sebelum sebelum Fatimah al-Zahra sebab Fatimah binti Husain tidak pernah bertemu dengan Fatimah al-Zahra yang meninggal sebulan setelah Rasulullah Saw. wafat.[15]

Untuk mengidentifikasi keterputusan mata rantai sanad dalam hadits munqathi dapat diketahui dengan cara melakukan penelitian ulang dengan berpijak pada masa hidup rawi hadits yang tidak segenerasi, melihat rawi lain yang juga meriwayatkan hadits yang sama, melihat ketidakjelasan mata rantai sanad.[16]

2. Hadits Mu'allaq

Hadits Mu'allaq ialah hadits yang rawinya digugurkan seorang atau lebih diawal sanadnya secara berturut-turut.[17] Gugurnya sanad pada hadits muallaq dapat terjadi pada sanad yang pertama, pada seluruh sanad selain sahabat.[18]

Contoh hadits mu'allaq:

الله احق ان يستحيى من الناس

"Allah itu lebih berhak untuk dijadikan tempat mengadu malu daripada manusia"

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Abu Daud, dan Turmudzi. Jika dilihat dalam sanad Bukhari, maka hadits itu bersanad Bahz bin Hakim, Ayah Bahz yakni Hakim bin Muawiyah dan kakeknya yakni Muawiyah bin Haidah Al-Qusyairi. Jika dilihat dalam sanad Abu Daud, maka hadits itu bersanad Abdullah bin Muslamah, Ubay, Bahz bin Hakim, ayah Bahz dan kakek Bahz atau sanad lain dari Ibnu Basyar, Yahya, Bahz bin Hakim, ayah Bahz dan kakek Bahz. Jika dilihat dalam sanad Turmudzi, maka sanad hadits tersebut adalah Ahmad bin Mani, Muadz bersama Yazid bin Harun, Bahz bin Hakim, ayah Bahz dan kakek Bahz.

Dari keterangan sanad ketiga imam pentakhrij hadits diatas, dapat dilihat bahwa Imam Bukhari menggugurkan sanad sekurang-kurangnya seorang sebelum Bahz bin Hakim, sebab Bukhari dan Bahz tidak hidup dalam satu generasi. Dengan demikian hadits Bukhari itu adalah Hadits Mua'allaq, sedang hadits Abu Daud dan Turmudzi adalah muttashil.[19]

3. Hadits Mursal

Hadits mursal ialah hadits yang gugur sanadnya setelah tabi'in.[20] Subhi al-Shalih menjelaskan hadits mursal dengan hadits yang disandarkan langsung oleh tabi'in kepada Nabi Muhamad Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya. Tabi'in tersebut bisa tabi'in kecil maupun tabi'in besar.[21]

Menurut Fatchur Rahman hadits mursal terbagi menjadi tiga bagian:

1. Mursal Jali, yaitu hadits nampak jelas pengguguran rawinya oleh tabi'in dan dapat diketahui oleh umum. Orang yang menggugurkan itu tidak hidup seaman dengan orang yang digugurkan.

2. Mursal Shahabi, yaitu Pemberitaan sahabat yang disandarkan pada Rasulullah Saw. tetapi ia tidak mendengar dan menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan disebabkan saat Rasul hidup ia masih kecil atau terakhir masuk Islam.

3. Mursal Khafi, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tabi'in yang hidup sezaman dengan sahabat tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah haditspun daripadanya.

Contoh hadits mursal ialah hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari Ibnu Syihab dari Ubaidillah bin Abdillah bin Atabah dari Abdullah bin Abas

ان رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج الى مكة يوم عام الفتح في رمضان فصام حتى بلغ الكديد ثم افطرفافطرالناس

"Bahwa Rasulullah Saw. keluar menuju Makkah pada tahun kemenangan dalam Bulan Ramadhan. Karena itu beliau berpuasa samapi ke Kadid lalu setelah beliau berbuka kemudian orang-orangpun berbuka".

Menurut al-Qabisi, hadits tersebut termasuk hadits mursal shahabi karena Ibnu Abas tidak pernah ikut bepergian bersama Rasulullah. Ibnu Abas ketika itu berada dirumah bersama orang tuanya.

4. Hadits Mu'dhal

Hadits mu'dhal ialah hadits yang digugurkan dua orang rawi atau lebih dari sanadnya secara berturut-turut[22] atau hadits yang rawinya gugur secara berurutan baik dua orang atau lebih baik sahabat bersama tabi'in maupun tabi'in dan tabi’i al- tabi'in atau dua orang sebelumnya.[23]

Contoh hadits mu'dhal ialah seperti yang diriwayatkan oleh Imam Malik yang menerima hadits dari Abu Hurairah:

للمملوك طعامه وكسوته

"Bagi budak itu ada hak makanan dan pakaian"

Imam Malik dalam Kitab Muwattha meriwayatkan hadits tersebut langsung dari Abu Hurairah, padahal Imam Malik adalah seorang tabi'I al-tabi'in, sudah tentu dia tidak mungkin dapat bertemu dengan Abu Hurairah. Dengan demikian pasti ada seorang atau dua orang rawi yang digugurkan. Rawi-rawi yang digugurkan itu dapat diketahui setelah diadakan penelitian dalam kitab lain. Dari hasil penelitian terhadap Kitab Shahih Muslim menunjukan bahwa bahwa dia meriwayatkan hadits tersebut melalui sanad-sanad Ibnu Wahbin, Amru bin al-Harits, Bukair bin al-Asyaj, Muhamad bin Ajlan, ayah Ajlan dan ayahnya (dua orang).[24]

5. Hadits Mudallas

Hadits mudallas ialah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan. Pada hadits ini rawi yang menggugurkan pernah bertemu dengan rawi yang digugurkan. Pengguguran itu dimaksudkan agar kelemahan suatu hadits dapat tertutupi.[25]

Bila rawi yang meriwayatkan hadits dari seorang guru yang pernah dia temui tetapi hadits tersebut tidak dia dengar dari gurunya tersebut melainkan dari guru lain, maka disebut tadlis al-isnad. Tadlis jenis ini menggunakan redaksi an fulan, qala fulan, anna fulan yaqulu atau anna fulanyaqulu kadz wakadza. Bila seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits dari seorang guru lalu dia memberi gelar atau nama panggilan, nama keturunannya atau memberikan sifat-sifat yang tidak dikenal pada guru tersebut, maka disebut tadlis al-syuyukh. Adapun bila seorang rawi meriwayatkan hadits dari guru yang tsiqah dan guru tersebut menerima hadits dari guru yang lemah dan dia menerima dari guru yang tsiqah dan seterusnya, kemudian rawi tersebut meriwayatkan hadits tersebut tanpa menyebutkan rawi-rawi yang lemah, maka disebut tadlis al- taswiyah.[26]

Contoh hadits mudallas ialah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا نعس احدكم في مجلسه يوم الجمعة فليتحول الى غيره

"Rasulullah Saw. bersabda: "Bila saeorang diantara kamu mengantuk diatas tempat duduknya pada hari Jum'at, hendaklah dia bergeser ke tempat lain"

Dalam sanad hadits Ibnu Umar tersebut terdapat seorang rawi bernama Muhamad bin Ishak yaitu seorang mudallis dan dia telah membuat hadits dengan meriwayatkan an.

b. Dha’if Karena Tiadanya Syarat Adil

1. Hadits Maudhu

Hadits maudhu adalah hadits yang dibuat-buat oleh para pendusta dan mereka menyandarkannya kepada Rasulullah Saw. Hadits ini dibuat pada umumnya karena kemauan si pembuat, dengan kata-kata rekaannya dan sanad-sanad susunannya sendiri.[27]

Contoh hadits maudhu yang dibuat oleh golongan Syiah[28]

ياعلي ان الله غفر لك ولذريتك ولوالديك ولاهلك ولشيعتك ولمحبي شيعتك

"Wahai Ali Sesungguhnya Allah telah mengampunimu, keturunanmu, kedua orang tuamu, golongan syiahmu, dan orang yang mencintai syiahmu"

Golongan Muawiyah juga membuat hadits palsu, sebagai contoh:

الا مناء ثلاثة اناوجبريل ومعاوية انت مني يامعاوية وانامنك

"Tiga golongan yang dapat dipercaya, yaitu saya (rasul), Jibril, dan Muawiyah. Kamu termasuk golonganku dan aku bagian dari kamu"

Adapun ciri-cari yang bisa didentifikasi dari Hadits maudhu adalah pengakuan dari sipembuat, qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadits maudhu, qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya, bertentangan dengan al-Qur'an dan hadits mutawatir dengan ijma dan logika yang sehat.[29]

Sedangkan motifasi seseorang untuk membuat hadits palsu diantaranya karena demi mempertahankan ideologi partainya, merusak dan mengeruhkan agama, fanatik kebangsaan, kesukuan, kedaerahan, kebahasaan dan kultus individu terhadap imam mereka, membuat kisah-kisah dan nasihat-nasihat untuk menarik minat para pendengarnya, mempertahankan madzhab dalam masalah-masalah khilafiyah fiqhiyyah, dan kalamiyah, mencari muka dihadapan para penguasa untuk mencari kedudukan dan hadiah, kejahilan mereka dalam ilmu agama disertai dengan adanya kemauan keras untuk berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya.[30]

2. Hadits Matruk

Hadits matruk ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tertuduh dusta dalam hadits atau menampakan kefasikan dengan perbuatan atau perkataan, banyak lupa atau banyak menghayal.[31]

Menurut al-Qasimi, sebagaimana dikutip oleh Mudasir termasuk dalam kelompok hadits ini semua hadits yang yang diriwayatkan oleh orang yang sudah dikenal suka berbuat dusta dalam persoalan selain hadits, dan orang yang banyak melakukan kesalahan.[32]

Contoh Hadits Matruk:

لولاالنساء لعبدالله حقا

"Andaikata didunia ini tidak ada wanita, tentu Allah itu disembah dengan sungguh-sungguh".

Ibnu Ady menjelaskan bahwa dua orang rawi yaitu Abdurahim dan ayahnya (Zaid) adalah orang yang matrukul hadits. Karenanya hadits yang diriwayatkan melalui sanad mereka disebut hadits matruk.[33]

3. Hadits Munkar

Hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi hadits yang dha’if bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah.[34] Selain itu juga dikatakan munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi saja yang tingkat hapalannya sangat rendah.[35]

Menurut al-Qasimi sebagaimana dikutip oleh Munzier Suparta bahwa hadits ini diriwayatkan oleh rawi yang memiliki tingkat kedhabitan sangat rendah. Bahkan ulama hadits memandang hadits ini dan hadits matruk adalah hadits yang paling lemah setelah hadits maudhu.[36]

Contoh hadits munkar yang diriwayatkan oleh al-Nasa'i, Ibnu Majah, dari jalur periwayatan Ibnu Zukair Yahya bin Muhamad bin Qais dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah:

كلوا البلح فان ابن ادم اذا اكله غضب الشيطان

"Makanlah buah kurma yang amsih muda bersama dengan kurma matang, sebab jika manusia memakannya, setan marah".

Hadits ini menurut Imam Nasa'i adalah Hadits Munkar karena Ibnu Zukair meriwayatkan hadits ini secara sendirian.[37]

c. Dha’if Karena Tiadanya Dhabit

1. Hadits Mudraj

Hadits mudraj ialah hadits yang menampakan (dalam redaksinya) tambahan yang hakikatnya bukan merupakan bagian dari hadits.[38]

Perkataan yang disadur oleh rawi mungkin perkataannya sendiri atau perkataan orang lain baik sahabat maupun tabi'in. Hal ini dimaksudkan untuk menerangkan makna kalimat-kalimat yang sukar atau mentaqyidkan makna yang mutlak. Saduran ini dapat terjadi pada sanad dan matan. Saduran pada matan ada yang terdapat pada awal, tengah dan akhir matan. Sedangkan pada sanad dapat terjadi disebabkan oleh seorang rawi yang memasukan sebuah hadits kedalam hadits lain yang berbeda sanadnya atau dengan menyisipkan seorang rawi lain yang bukan rawi sebenarnya.[39]

Contoh hadits mudraj, seperti hadits Ibnu Mas'ud :

من مات لايشرك بالله شيئادخل الجنة ومن مات يشرك به شيئادخل النار

"Barang siapa yang mati dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun maka dia akan masuk surga, dan barang siapa yang mati dengan menyekutukan Allah dengan sesuatu maka dia akan masuk neraka"

Setelah dilakukan penelitian dengan membandingkan dengan hadits-hadits lain ternyata kalimat ومن مات يشرك به شيئادخل النار adalah ucapan dari Ibnu Mas'ud sendiri.[40]

2. Hadits Maqlub

Hadits maqlub ialah hadits yang lafal matannya tertukar oleh salah seorang periwayat atau oleh seseorang yang ada pada matarantai sanad, lalu penyebutan yang seharusnya diakhirkan didahulukan atau sebaliknya atau meletakannya pada tempat lain.[41]

Contoh hadits maqlub pada matan seperti diungkapkan oleh Fatchur Rahman[42] ialah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah:

ورجل تصدق بصدقة اخفاهاحتى لاتعلم يمينه ماتنفق شماله

"Seseorang yang bersadaqah dengan sesuatu yang disembunyikan hingga tangan kanannya tidak mengetahui apa-apa yang telah dibelanjakan oleh tangan kirinya"

Hadits ini terjadi pemutarbalikan dengan hadits riwayat Bukhari atau riwayat Muslim sendiri pada tempat lain, yang berbunyi

حتى لاتعلم شماله ماتنفق يمينه

"Hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa-apa yang telah dibelanjakan oleh tangan kanannya"

Tukar menukar pada sanad dapat terjadi misalnya rawi Ka'ab bin Murrah tertukar dengan Murrah bin Ka'ab dan Muslim bin Wahid dengan Wahid bin Muslim.

3. Hadits Mudhtharib

Hadits mudhtharib ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi atau lebih dengan menggunakan redaksi yang berbeda-beda (dan pengertiannya hampir sama) dan memiliki kualitas yang sama serta dapat bertahan tanpa ada yang dapat ditarjihkan. Hal ini bisa terjadi pada redaksi matan yang bervariatif dan dan sanad.[43]

Contoh hadits mudhtharib pada matan sebagaimana yang dikutip oleh Fatchur Rahman[44] ialah hadits yang diriwayatkan dari Anas

ان النبي صلى الله عليه وسلم وابابكروعمرفكانوايفتتحون القراءةبالحمدلله رب العالمين

"Bahwa Nabi Saw., Abu Bakar dan Umar memulai bacaan shalat dengan bacaan alhamdulillahi rabbi lalamin"

Menurut al-Hafid Ibnu Abd al-Bar bahwa hadits basmalah banyak diriwayatkan dengan lafad yang berbeda-beda dan saling dapat bertahan serta tidak dapat ditarjihkan maupun dikompromikan. Antara lain yang diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasa'i, Ibnu Khuzaimah yang juga bersumber dari Anas dengan rangkaian kalimat:

فكانوالايجهرون ببسم الله الرّحمن الرّحيم

"Mereka sama tidak mengeraskan bacaan bismillahirrahmanirrahim"

Disamping itu ada juga beberapa rawi yang meriwayatkan bahwa para sahabat sama membaca basmalah dengan keras, seperti:

فكانوايجهرون ببسم الله الرّحمن الرّحيم

"Mereka sama mengeraskan bacaan bismillahirrahmanirrahim"

4. Hadits Muharraf

Hadits muharraf ialah hadits yang mengalami perubahan pada harakat tetapi tulisan sama dalam bentuknya.[45] Contoh hadits muharraf adalah hadits Jabir:

رمي ابي يوم الاحزاب على اكحله

"Ubay (bin Ka'ab) telah dihujani panah pada perang Ahzab mengenai lengannya"

Ghandar mentahrifkan kata Ubay pada hadits tersebut dengan Abi (bapaku) padahal sesungguhnya Ubay bin Ka'ab. Kalau pentahrifan Ghandar ini diterima berarti orang yang dihujani panah adalah ayahnya Jabir, padahal ayah Jabir telah meninggal pada perang Uhud yang terjadi sebelum perang Ahzab.[46]

5. Hadits Mushahhaf

Hadits Mushahhaf ialah hadits yang mengalami perubahan pada redaksi dan maknanya atau mengalami perubahan pada titik kata sedang bentuk tulisannya tidak berubah.[47]

Contoh hadits mushahhaf pada matan ialah hadits Abu Ayub Al-Anshari:

من صام رمضان واةتبعه ستامن شوال كان كالصيام الدهر

"Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari pada bulan Syawal maka ia seperti puasa sepanjang hari"

Perkataan sittan yang artinya enam oleh Abu Bakar al-Shauly diubah dengan syaian yang berarti sedikit. Adapun mushahhaf yang terjadi pada sanad misalnya Ibnu Badzar diubah dengan Ibnu Nadzr atau nama sesungguhnya Murajin diubah dengan Muzahim.[48]

d. Dha’if Karena Kejanggalan dan Kecacatan

1. Hadits Syadz

Hadits syadz ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul akan tetapi bertentangan matannya dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama. Dalam hal ini, periwayatan yang hanya dilakukan melalui satu jalan sanad, tidak bisa dikatakan syadz, meskipun diriwayatkan oleh orang yang lemah.[49]

Contoh hadits syadz ialah:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اذاصلى احدكم ركعتي الفجر فليظطجع على يمينه

Rasulullah bersabda: "Bila salah seorang kamu telah selesai shalat sunat dua rakaat fajar, hendaklah ia berbaring miring diatas pinggang kanannya". (HR. Abu Daud)

كان النبي صلى الله عليه وسلم اذاصلى ركعتي الفجراظطجع على شقه الايمن

"Konon Nabi Saw. bila telah selesai shalat sunat dua rakaat fajar, hendaklah ia berbaring miring diatas pinggang kanannya" (HR. Muslim)

Hadits Abu Daud yang bersanad Abu Wahid bin Ziyad, al-A'masy, Abu Shalih, dan Abu Hurairah yang diriwayatkan secara marfu itu adalah hadits syadz pada matan. Hal ini dapat diketahui setelah meninjau hadits Bukhari yang bersanad Abdullah bin Yazid, Sa'id bin Abi Ayyub, Abu Aswad, Urwah bin Zubair dan Aisyah dan riwayat-riwayat lain yang lebih tsiqah yang meriwayatkan hadits atas dasar perbuatan Nabi. Sedangkan Hadits Abu Daud diriwayatkan atas dasar perkataan Nabi.[50]

2. Hadits Mu'allal

Hadits mu'allal ialah hadits yaitu hadits yang diketahui illatnya setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan meskipun pada lahirnya tampak selamat dari kecacatan.[51]

Kecacatan yang dimaksud adalah kecacatan yang kadang terdapat pada matan dan sanad. Illat pada sanad adakalanya mencacatkan sanad dan matan dan adapula hanya mencacatkan sanadnya saja sedangkan matannya tidak.

Contoh hadits mu'allal adalah hadits dari Ya'la bin Ubaid dari Supyan Tsauri dari Amr bin Dinar dari Ibnu Umar dari Nabi Saw:

البيعان بالخيارمالم يتفرقا

"Si penjual dan si pembeli boleh memilih selama keduanya belum berpisah"

Illat hadits ini terdapat pada Amr bin Dinar. Seharusnya bukan dia yang meriwayatkan melainkan Abdullah bin Dinar. Hal ini diketahui dari riwayat-riwayat lain yang juga melalui sanad tersebut.[52] Sekalipun demikian hadits Ya'la tetap dikatakan hadits shahih pada matannya sebab redaksinya sama dengan yang lain.[53]

2. Dha’if dari Segi Matan

a. Hadits Mauquf

Hadits mauquf ialah hadits yang hanya disandarkan sampai kepada sahabat saja baik berupa perkataan, perbuatan baik sanadnya bersambung maupun terputus.[54]

Contoh Hadits mauquf ialah hadits yang disandarkan pada Ibnu Umar:

يقول اذاامسيت فلاتنتظرالصباح واذااصبحت فلاتنتظرالمساء وخذ من صحتك لمرضك ومن حياتك لموتك

Konon Ibnu Umar berkata: "Bila engkau berada diwaktu sore, jangan menunggu datangnya pagi hari, dan bila enkau berada diwaktu pagi jangan menunggu datangnya sore hari. Ambilah dari waktu sehatmu persediaan untuk waktu sakitmu dan dari waktu hidupmu untuk persediaan matimu" (HR. Bukhari)

Hadits tersebut bersanad Ali bin Abdillah, Muhamad bin Abdurahman Abdul Mundzir al-Thuwafi, Sulaiman al-A'masy, Mujahid dan Ibnu Umar. Hadits tersebut adalah hadits mauquf sebab itu adalah perkataan Ibnu Umar sendiri, tidak ada petunjuk kalau itu sabda Rasulullah. Hal ini diucapkan setelah ia menceritakan bahwa Nabi Saw. memegang bahunya dengan bersabda:

كن في الدنياكانك غريب او عابرسبيل

"Jadilah kamu hidup didunia ini seperti orang asing atau orang yang lewat dijalanan"[55]

b. Hadits Maqthu

Hadits maqthu ialah hadits diriwayatkan dari tabi'in dan disandarkan kepadanya, baik perkataan, perbuatan atau taqrirnya baik sanadnya bersambung ataupun tidak.[56]

Contoh hadits maqthu:

المؤمن اذا عرف ربه عزوجل احبه واذااحبه اقبل اليه

"Orang mukmin itu bila telah mengenal Tuhannya Azza Wajalla, niscaya ia mencintai-Nya, dan bila ia mencintai-Nya, Allah menerimanya."

Hadits ini adalah perkatan dari Haram bin Jubair, seorang tabi'in besar.

4. Tingkatan Hadits Dha’if

Menurut A. Qadir Hasan hadits dha’if memiliki dua tingkatan: Pertama hadits dha’if yang sangat lemah. Kedua hadits dha’if yang tidak terlalu lemah.[57] Sedangkan Hasbi As-Shidieqy menjelaskan bahwa hadits dha’if karena rawinya tertuduh dusta atau curang (fasiq), maka meskipun memiliki sanad-sanad lain, sanadnya tidak bisa naik kederajat hasan. Sedangkan hadits dha’if yang memiliki jalur sanad-sanad lain dan dapat tertutup kelemahan-kelemahannya, maka bisa dinaikan derajatnya menjadi hasan lighairihi.[58]

5. Kedudukan Hadits Dha’if dalam Hujjah

Ada dua pendapat ulama yang berbicara mengenai kehujahan hadits dha’if yang bukan hadits maudhu sebagaimana diungkapkan oleh Fatchur Rahman[59], yaitu:

1. Melarang secara mutlak meriwayatkan segala macam hadits dha’if, baik untuk menetapkan hukum, maupun untuk memberi sugesti amalan utama.

2. Membolehkan meskipun dengan melepaskan sanadnya dan tanpa menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal dan cerita-cerita, bukan untuk menetapkan hukun-hukum syariat, seperti halal dan haram dan bukan untuk menetapkan akidah.

Sementara Hasbi Ash-Shidieqy[60] menyebutkan tiga pendapat ulama hadits dalam menyikapi kehujjahan hadits dha’if ini, yaitu: Pertama, hadits dha’if yang sama sekali tidak boleh diamalkan baik dalam soal hukum maupun dalam soal targhib. Pendapat ini dianut oleh Imam Bukhari dan Muslim. Kedua, boleh dipergunakan untuk menerangkan soal-soal fadhilah. Pendapat ini dianut oleh Imam Ahmad dan Ibnu Abd al-Bar. Ketiga, boleh dipergunakan dengan syarat apabila dalam satu masalah tidak diketemukan hadits shahih dan hasan. Pendapat ini dianut oleh Imam Abu daud dan Imam Ahmad.

Sementara itu, Ibnu Hajar al-Asqalani memandang boleh berhujjah dengan hadits dha’if untuk alasan fadhail a'mal (hadits yang berbicara tentang keutamaan-keutamaan dalam beramal). Akan tetapi, untuk itu beliau memberikan syarat-syarat seperti:

1. Hadits dha’if itu tidak keterlaluan, dalam arti hadits itu tidak diriwayatkan oleh rawi yang pendusta, tertuduh dusta serta banyak salah.

2. Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits dha’if tersebut masih dibawah suatu dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (shahih dan hasan). Contoh hadits "Siapa yang menghapal empat puluh hadits sampai mau menyampaikan kepada umat, aku bersedia menjadi pemberi syafaat dan saksi padanya, dihari kiamat kelak". Hadits ini memiliki muttabi hadits shahih: "Raulullah bersabda: Hendaknya diantara kamu yang menyaksikan, menyampaikan kepada orang yang tidak menyaksikan".

3. Dalam mengamalkannya tidak mengi'tikadkan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber kepada Nabi. Tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata-mata ntuk ihtiyat belaka.

C. PENUTUP

Pada bagian penutup ini, pemakalah menyimpulkan bahwa hadits dha’if ialah hadits yang tidak memenuhi persyaratan maqbul yang bisa terdapat pada sanad dan matan.

Munculnya hadits dha’if seiring dengan ditemukannya sebuah perangkat ilmu untuk menyeleksi keshahihan suatu hadits. Ilmu ini dikenal dengan nama mushthalah al-hadits. Dengan mempelajari ilimu ini, originalitas suatu hadits dapat diidentifikasi menjadi shahih, hasan atau dha’if.

Ulama hadits membagi tingkatan hadits dha’if menjadi hadits dha’if yang sangat lemah dan hadits yang tidak terlalu lemah yang bisa naik derajatnya kedalam hadits hasan lighairihi.

Hadits dha’if menurut ulama hadits ada yang bisa diamalkan asalkan dalam hal yang bukan berkaitan dengan syariat dan akidah, dan ada yang sama sekali tidak bisa diamalkan dengan alasan apapun. Sebagian lagi membolehkan menggunakan hadits dha’if apabila dalam satu masalah tidak ditemukan hadits shahih dan hasan.

Demikian makalah ini dibuat semoga bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Ulumuhu Wa Musthalahuhu. Beirut: Maktabah Darul Fikr, 1989

Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu'l Hadits. Bandung: Al-Ma'arif, 1974

Hasbi Ash-shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009

Jalaludin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi Syarh Taqrib al-Nawawi. Mesir: Darul Hadits, 2002

Mahmud Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadits. Surabaya: Maktabah Hidayah, tt

Mudasir, Ilmu Hadits. Bandung: Pustaka Setia, 2008

Muhamad Ma'shum Zein, Ulumul hadits dan Mushthalah Hadits. Dirjen Pendis, 2007

Munzier Suparta, Ilmu Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993

Musthafa al-Siba'i al-Sunnah Wamakanatuha Fi Tasyri'i al- Islami. (Di terjemahkan oleh Dja'far Abd. Muchith). Bandung: Diponegoro, 1993

Qadir Hasan, A., Ilmu Musthalah Hadits. Bandung: Penerbit Diponegoro, 2002

Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits (Diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus). Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993



[1] Hasbi Ash-shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra,2009) hlm. 59

[2] Ibid, 52-53

[3] Lihat Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu'l Hadits (Bandung: Al-Ma'arif, 1974) hlm. 74

[4] Musthafa al-Siba'i, al-Sunnah Wamakanatuha Fi Tasyri' al- Islami, terjemahan Dja'far Abd. Muchith (Bandung: Diponegoro, 1993) hlm. 172

[5] Ash-shiddieqy, op.cit hlm. 67-68

[6] Ajaj Al-Khatib, Ushulul Hadits, Ulumuhu Wa Musthalahuhu, (Beirut: Maktabah Darul Fikr, 1989) hm. 337

[7] Muhamad Ma'shum Zein, Ulumul hadits dan Mushthalah Hadits (tp: Dirjen Pendis, 2007) hlm. 152

[8] Mahmud Thahan, Taisir Musshthalah Hadits (Surabaya: Maktabah Hidayah, tt) hlm. 63

[9] Ash-shiddieqy, op.cit hlm. 60

[10] Munzier Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993) hlm. 151

[11] Ibid

[12] Ibid

[13] Ajaj Al-Khatib. op.cit 339

[14] Suparta. op.cit 152

[15] Fatchur Rahman, op cit 220

[16] Ma'shum Zein, op.cit 161

[17] Suparta, op.cit. 153

[18] Fatchur Rahman, op cit 204

[19] Fatchur Rahman, op cit 205

[20] Suparta, op.cit. 155

[21] Ajaj al-Khathib. op.cit 337

[22] Subhi al-Shalih, op.cit 152

[23] Mahmud Thahan, Taisir Mushthalahil Hadits (Surabaya: Maktabah Hidayah, tt) hlm. 75

[24] Fatchur Rahman, op cit 222

[25] Suparta, op.cit. 158

[26] Ibid

[27] Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits terjemahan Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993) hlm. 230

[28] Suparta, op.cit. 182

[29] Fatchur Rahman, op cit 169

[30] Fatchur Rahman, op cit 175

[31] As-Shalih, op.cit 183

[32] Mudasir, Ilmu Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hlm. 164

[33] Fatchur Rahman, op cit 185

[34] As-Shalih, op.cit 180

[35] Ma'shum Zein, op.cit 181

[36] Suparta, op.cit. 160

[37] Jalaludin As-Suyuthi, Tadribu Rawi Syarh Taqrib Nawawi (Mesir: Darul Hadits, 2002) Juz I hlm 240

[38] Ma'shum Zein, op.cit 183

[39] Fatchur Rahman, op.cit. hlm. 189

[40] Ibid

[41] Ma'shum Zein, op.cit 189

[42] Fatchur Rahman, op.cit. hlm. 190

[43] Ma'shum Zein, op.cit 192

[44] Fatchur Rahman, op.cit. hlm. 191

[45] Fatchur Rahman, op.cit. hlm. 193

[46] Suparta, op.cit. 166

[47] Suparta, op.cit. 165

[48] Fatchur Rahman, op.cit. hlm. 194

[49] Suparta, op.cit. 168

[50] Fatchur Rahman, op.cit. hlm. 202

[51] Suparta, op.cit. 169

[52] Suparta, op.cit. 170

[53] Ma'shum Zein, op.cit 207

[54] Fatchur Rahman, op.cit. hlm. 227

[55] Ibid

[56] Ma'shum Zein, op.cit 214

[57] A. Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, (Bandung: Penerbit Diponegoro, 2002) hlm. 91

[58] Ash-Shidieqy, op.cit 163

[59] Fatchur Rahman, op.cit. hlm. 229

[60] Ash-Shidieqy, op.cit 174

1 komentar:

  1. teriama kasih atas maqolahnya, mohon diijinkan untuk memnelajari dan mengkoponya

    BalasHapus