Jumat, 16 Juli 2010

HADITS DALAM PANDANGAN ORIENTALIS

PENDAHULUAN

Hadits dalam ajaran Islam menempati posisi yang sangat strategis. Hal itu terjadi karena hadits menjadi sumber hukum kedua bagi hukum-hukum Islam.[1] Para ulama sepakat bahwa hadits atau sunnah paling tidak memiliki tiga fungsi utama dalam rangka hubungannya dengan Al-Qur’an, yakni kadangkala ia berfungsi sebagai bayan ta’qid terhadap ketentuan hukum yang ada dalam Al- Qur’an, atau bayan tafsir terhadap kemujmalan Al-Qur’an dan fungsi bayan tasyri’ terhadap segala sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’an.[2] .

Oleh karena sedemikian sentralnya keberadaan hadits nabi maka banyak penelitian dan kajian-kajian yang dilakukan ulama-ulama hadits untuk menentukan atau mengetahui kualitas hadits yang diteliti dalam hubungannya dengan kehujahan hadits yang bersangkutan.[3]

Penelitian pengkajian hadits itu ternyata tidak hanya milik kaum muslimin tetapi musuh-musuh Islam pun melakukan kajian-kajian terhadap hadits itu, diantaranya dilakukan oleh orientalis, yang memiliki tujuan untuk meragukan dasar-dasar validitas hadits sebagai dalil atau dasar argumentasi.

Kajian Islam yang dilakukan oleh orientalis pada mulanya hanya ditujukan hanya kepada materi-materi keislaman secara umum, termasuk bidang sastra dan sejarah. Baru pada masa-masa belakangan mereka mengarahkan kajiannya secara khusus kepada bidang Hadits Nabawi.[4]

Gugatan orientalis terhadap hadits dimulai pada pertengahan abad ke-19 M. adalah Alois Sprenger, yang pertama kali mempersoalkan status hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad SAW, misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik).[5] Klaim ini diamini oleh rekan satu misinya William Muir. Menurutnya dalam literatur hadits, nama Nabi Muhammad SAW sengaja dicatut untuk menutupi bermacam-macam kebohongan.[6]

Serangan terhadap hadits itu mencapai puncaknya setelah Ignaz Goldziher menulis Muhammadenische Studien (Studi Islam) yang dipandang sebagai kritikan paling penting terhadap hadits diabad 19.[7] Kurang lebih enam puluh tahun sesudah terbitnya buku Goldziher itu, Joseph Schacht yang juga orientalis Yahudi menerbitkan hasil penelitiannya tentang hadits dalam sebuah buku yang berjudul The Origins of Muhammadan Jurisprudence. [8]

Sebagai laskar orientalis, Ignaz Goldziher dan Joseph Schaht adalah tokoh yang paling terkemuka dalam pengkajian hadits.[9] secara khusus memfokuskan diri dalam pengkajian Ilmu Hadits keduanya mencoba menelaah dan mengkritik konsturksi hadits berdasarkan prespektif orientalisme.[10] Baik Goldziher maupun Schaht meragukan otentisitas hadits, sedangkan Schact berpendapat lebih jauh sampai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa tidak ada satupun hadits yang otentik dari Nabi s.a.w, khususnya hadits-hadits yang berhubungan dengan hukum Islam.[11]

Diantara sekian banyak orientalis yang mengkaji hadits, penulis mencoba menelusuri pandangan kedua orientalis tersebut yaitu Ignaz Goldziher dan Joseph Schaht yang berpengaruh dalam penelitian hadits, dan karena orientalis-orientalis sesudahnya pada umumnya hanya mengikuti kedua tokoh tersebut.[12] Bangunan tulisan ini dimulai dengan melihat batasan orientalisme, pemikiran mereka dalam kajian hadits yang disertai komentar dan bantahan muhaditsin kontemporer, dan bagaimana kontribusi orientalis terhadap hadits.


PEMBAHASAN

A. Pengertian Orientalisme dan Orientalis

Orientalisme merupakan istilah yang diambil dari bahasa Perancis dengan asa kata ”orient” yang berarti timur dan ”isme” artinya faham, ajaran, cita-cita atau sikap.[13] Sedangkan menurut Mustolah Maufur bahwa kata ”orient” berasal dari bahasa Latin ”oriri” yang berarti terbit, dan dalam bahasa Inggris artinya ”direction of rising sun” (arah terbitnya matahari atau bumi belahan Timur).[14]

Menurut H.M. Joesoef Sou’yb[15] Orientalisme berasal dari kata orient, bahasa Perancis, yang secara harfiah berarti timur dan secara geografis berarti dunia belahan timur, dan secara etnologi berarti bangsa-bangsa di timur. Kata Orient itu memasuki berbagai bahasa di Eropa, termasuk Inggris. Oriental adalah sebuah kata sifat yang berarti hal-hal yang bersifat Timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Suku kata isme (Belanda) atau ism (Inggris) menunjukkan pengertian tentang sesuatu paham. Jadi Orientalisme adalah sesuatu paham atau aliran, yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa Timur beserta lingkungannya.

Lawan kata orien dalam bahasa Perancis adalah occident, yang secara harfiah berarti Barat dan secara geografis berarti dunia belahan Barat, dan secara etnologi berarti bangsa-bangsa di Barat. Adapun kada Occidental berarti hal-hal yang berkaitan dengan dunia Barat beserta lingkungannya. Berbeda dengan orientalisme kata Occidental hampir tidak pernah disebut, karena bukan merupakan suatu keahlian khusus dalam lingkungan disiplin ilmu.[16]

Secara istilah orientalisme mengandung beberapa pengertian, dalam konteks suatu kajian keilmuan Abdul Haq Ediver, mengartikan orientalisme secara umum, yaitu suatu pengertian sempurna yang terkumpul dari sumber pengetahuan asli mengenai bahasa, agama, budaya, geografis, sejarah, kesusastraan dan seni-seni bangsa Timur.[17] Adapun menurut Edward Said[18], orientalisme adalah suatu cara untuk memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman Barat Eropa dengan sebuah gaya pemikiran berdasarkan ontologi dan epistimologi antara Timur dan Barat pada umumnya; dan sebuah gaya Barat untuk mendominasi, membangun kembali dan mempunyai kekuasaan terhadap timur. Dalam pengertian yang sempit ialah kegiatan penyelidikan ahli ketimuran di Barat tentang agama-agama di Timur, khususnya tentang agama Islam.[19]

Secara analitis pengertian orientalisme pada tiga hal; 1) keahlian mengenai wilayah Timur; 2) metodologi dalam mempelajari masalah ketimuran; 3) sikap ideologis terhadap masalah ketimuran khususnya terhadap dunia Islam.[20]

Adapun pengertian orientalis adalah kata nama pelaku yang menunjukkan seorang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan ”Timur”, biasanya disingkat dengan sebutan ahli ketimuran.[21] Atau juga orientalis adalah segolongan sarjana Barat yang mendalami bahasa dunia Timur dan kesusastraannya, dan mereka yang menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur, sejarahnya, adat-istiadatnya, dan ilmu-ilmunya.[22]

Tidak ada keterangan yang jelas kapan dan siapa sebenarnya orang Barat yang pertama kali mempelajari Islam. Sebagian peneliti menyatakan kegiatan orientalis itu sendiri ada pada abad kesepuluh Masehi. Sebagian lain berpendapat muncul setelah Perang Salib yang berlangsung selama dua abad antara 1097-1295. Adapula yang menyatakan orientalisme telah memulai aktifitasnya pada abad XIII di Andalusia, ketika serangan kaum Salibi Spanyol terhadap Islam mencapai Puncaknya. Ada pula yang menyatakan bahwa kajian ketimuran yang kemudian dinamakan dengan orientalisme bersamaan dengan munculnya imperialisme dan kolonialisme Eropa ke dunia Islam abad XVIII Masehi, disaat melemahnya kekuasaan Daulah Utsmaniyah yang dianggap sebagai garis pemisah antara Eropa dengan negara-negara Timur.[23]

Namun diantara kemunculan orientalisme disebabkan beberapa hal, yaitu : Pertama: terjadinya Perang Salib dan Imperialisme atau kolonialisme. Kedua : sentuhan Barat dengan perguruan-perguruan tinggi Islam. Ketiga : penyalinan naskah-naskah ke dalam bahasa latin pada setiap bidang ilmu pengetahuan.[24]

Kajian orientalisme mempunyai karakter khusus, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemahaman orientalisme itu sendiri,[25] diantaranya :

a. Orientalisme adalah suatu kajian yang mempunyai ikatan sangat erat hubungannya dengan kolonial Barat. Khususnya kolonial Inggris dan Perancis sejak akhir abad XIII hingga usainya perang dunia kedua. Kalau ada kolonialisme, disitu ada orientalisme.

b. Orientalisme merupakan gerakan yang mempunyai ikatan yang kuat dengan gerakan kristenisasi. Antara lain untuk mempelajari dan memahami secara mendalam masalah-masalah yang mungkin dapat digunakan sebagai sarana mengotori citra Islam, menumbuhkan perselisihan dan pertentangan di kalangan sesama umat Islam serta menumbuhkan perasaan ragu terhadap ajaran Islam dan berusaha keras memurtadkan umat Islam.

c. Orientalisme merupakan kajian gabungan yang mesra antara kolonialisme dengan gerakan kristenisasi, yang validitas ilmiah dan objektivitasnya tidak dapat dipertanggung jawabkan secara mutlak, terutama dalam kajian Islam, yang dimulai dengan mengalihkan dan mengubah pandangan dari metode Islam kepada metode pengetahuan Barat.

d. Orientalisme merupakan bentuk kajian yang dianggap potensial dalam politik dan dunia Barat untuk melawan Islam dan kaum muslimin.[26]

Dengan demikian di dunia Islam pemaknaan orientalise mengalami penyempitan objek bahasan. Orientalisme dipahami sebagai pengkajian Islam menurut orang Barat atau sarjana lainnya yang berkiblat ke Barat.[27] Pengkajian yang dilakukan lebih cenderung berkiblat ke Barat dengan etnosentrisnya, orientalisme dalam dunia Islam kemudian juga dipahami sebagai gazwah al-fikr dari diskursus Barat dalam upaya melemahkan nilai-nilai dan semangat keagamaan umat Islam. Kenyataan ini dapat dipahami lantaran kelompok orientalis yang murni sebagai pencari kebenaran sangatlah sedikit jika dibanding dengan yang lainnya.[28]

B. Hadits Dalam Pandangan Orientalis

Hadits adalah sebuah bangunan yang mengandung ucapan, perbuatan atau ketentuan-ketentuan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw., sehingga bagi orientalis hadits adalah merupakan kajian yang mudah bagi mereka untuk mendistorsikan hadits secara keseluruhan.

Ada beberapa faktor yang mendorong hadits menjadi kajian orientalis dalam menjelekan Islam, yaitu; Pertama : Faktor lebih mudahnya usaha memburukkan Islam melalui penyelidikan hadits daripada penelitian terhadap Al-Qur’an. Beberapa studi yang dibuat secara serius , objektif dan jauh dari polemik telah menunjukkan adanya keinginan kuat para orientalis untuk mendiskriditkan Islam. Kedua : Faktor lain yang juga kuat dalam mendorong perhatian terhadap penyelidikan hadits adalah banyaknya kontradiksi dalam materi corpus hadits sendiri.[29]

Tiga wilayah cakupan studi hadits yang telah dikenal umum oleh para muhadditsin untuk menentukan otentisitas hadits hadits yaitu pelacakan isnad hadits, ktirik matan dan metode kritik perawi, dibongkar kembali oleh para orientalis dan memunculkan tesis-tesis baru yang menyanggah kebenaran-kebenaran hadits; terutama kebenaran bahwa hadits berasal dari Muhammad.

Aspek-aspek yang dijadikan sebagai lahan kritik orientalis dalam penolakan mereka terhadap otentisitas hadits, diantaranya banyak argumen yang secara umum dikemukakan oleh mereka, yaitu :

1) Aspek Pribadi Nabi Muhammad

Argumen pertama dan paling utama orientalis meragukan otentisitas hadits adalah bahwa hadits-hadits itu buatan manusia dan bukan wahyu.[30] Menurut orientalis pribadi Muhammad perlu dipertanyakan, mereka membagi status Muhammad menjadi tiga, sebagai rosul, kepala negara dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Sesuatu yang didasarkan dari Nabi Muhammad baru disebut hadits jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak layak disebut dengan hadits, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.[31]

2) Aspek Asanid (Rangkaian Perawi).

Orientalis memiliki kesimpulan bahwa semua asanid itu fiktif atau bahwa yang asli dan yang palsu itu tidak bisa dibedakan secara pasti. Isnad yang sampai kepada Nabi Muhammad jauh lebih diragukan ketimbang isnad yang sampai kepada shahabat.[32]

3) Aspek Matan

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa ktirik isnad adalah satu-satunya metode yang dipraktekkan ahli-ahli hadits untuk menyaring mana hadits yang shahih dan hadits mana yang tidak shahih. Menurut orientalis matan hampir tidak pernah dipertanyakan; hanya jika isi sebuah hadits yang isnad-nya shahih jelas bertentangan dengan Al-Qur’an, baru ditolak; kalau isinya dapat diinterpretasikan sedemikian sehingga menjadi selaras dengan Al-Qur’an dan hadits-hadits lain, hadits itu tidak dikritik.[33]

Selanjutnya penulis akan menelusuri kajian yang dilakukan oleh orientalis yaitu Ignaz Goldziher dan Josepht Schahct atas keraguannya terhadap otentisitas hadits.

1. Ignaz Goldziher

Ignaz Goldziher adalah orientalis Hungaria yang dilahirkan dari keluarga Yahudi pada tahun 1850 M, Ia belajar di Budapest, Berlin dan Leipzig. Pada tahun 1873 ia pergi ke Syiria dan belajar pada Syeikh Tahir al-Jazairi. Kemudian Pindah ke Palestina, lalu ke Mesir dimana ia belajar dari sejumlah ulama di Universitas Al-Azhar Kairo.[34] Pada tahun 1894 dia menjadi calon tenaga pengajar bahasa Semit dan pada tahun 1904 menjadi guru besar bahasa-bahasa Semit di Universitas Budapest akhirnya ia meninggal pada 13 November 1921.[35]

Karya-karya tulisannya yang membahas masalah-masalah keislaman banyak di publisir dalam bahasa Jerman, Inggris dan Perancis. Bahkan sebagian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dan yang paling berpengaruh dari karya-karya tulisannya adalah buku Muhammadanische Studien, dimana ia menjadi sumber rujukan utama dalam penelitian hadits di Barat.[36] Di samping karyanya yang lain seperti: Le Dogme et Les Lois de L’Islam (The Principle of Law is Islam), Introduction to Islamic Theology and Law, Etudes Sur La Tradition Islamique.[37]

Secara umum pandangan Ignaz Goldziher terhadap hadits adalah bahwa apa yang disebut hadits itu diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi s.aw.[38] Menurut Goldziher, hadits lebih merupakan refleksi interaksi dan konflik pelbagai aliran dan kecenderungan yang muncul kemudian di kalangan masyarakat muslim pada periode kematangannya, ketimbang sebagai dokumen sejarah awal perkembangan Islam.

Menurut Goldziher, literatur hadits harus dipandang sebagai hasil evolusi agama, sejarah dan sosial Islam selama dua abad pertama eksistensinya.[39] Ini berarti, hadits adalah produk bikinan masyarakat Islam beberapa abad setelah Nabi Muhammad SAW wafat, bukan berasal dan tidak asli dari beliau.[40] Ataupun hadits tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat nabi yang didasarkan pada fenomene-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.[41]

Diantara yang turut mengamini pendapat Goldziher adalah orientalis Inggris bernama Alfred Guillaume. Dalam bukunya mengenai sejarah hadits, mantan guru besar Universitas Oxford ini mengklaim bahwa sangat sulit untuk mempercayai literatur hadits secara keseluruhannya sebagai rekaman otentik dari semua perkataan dan perbuatan Nabi SAW.[42]

Keraguan Goldziher tentang keabsahan dan keotentikan hadits didasarkan atas beberapa alasan, diantaranya, ketidakmungkinan keshahihan hadits dalam masyarakat Islam pada abad pertama.[43] Ia mengatakan bahwa kesulitan data yang otentik diakibatkan karena kondisi masyarakat Islam pada abad pertama Hijriah sama sekali tidak mendukung budaya pemeliharaan data tersebut yang belum memiliki kemampuan cukup untuk memahami dogma-dogma keagamaan,, memelihara ritus-ritus keagamaan dan mengembangkan doktrin agama yang kompleks. Terlebih lagi pada saat itu buta huruf masih merajalela dimana-mana.[44]

Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan, karenanya Goldziher kemudian ,menawarkan metode kritik baru yaitu kritik pada matan.[45] Metode kritik matan hadits oleh Goldziher itu berbeda dengan metode kritik matan yang dipakai oleh para ulama. Menurutnya kritik matan hadits itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural dan lain-lain.[46] Lebih jauh hal itu dilakukan guna menggambarkan sampai sejauhmana hubungan teks hadits dengan kondisi eksternal kondisi sosial politik dimana hadits itu muncul.[47]

Contoh kasus dapat ditemukan pada sebuah hadits yang artinya berbunyi : “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al- Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha” Menurut Goldziher Abdul Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (Syiria adan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Shakhra di al-Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam.[48]

Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadits dengan sanad yang bersambung ke Nabi SAW dimana isinya umat Islam tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al-Haram (di Makkah), Masjid Nabawi (di Madinah) dan Masjid al-Aqsha (di al-Quds/Jerusalem).[49]

Jelaslah bagi kita, karena kondisi politik saat itu yang mendudukan rezim Umawiyah berada pada puncak kekuasaan, Imam al-Zuhri telah dimanfaatkan untuk memalsukan hadits sesuai dengan keinginan dan kebijakan politik mereka.[50]

2. Joseph Schacht

Josepht Schahct adalah seorang profesor kelahiran Silisie Jerman pada tanggal 15-3-1902. Karirnya sebagai orientalis diawali dengan belajar filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa timur di universitas Berslaw dan universitas Leipzig. Ia meraih gelar doktor dari universitas Berslaw pada tahun 1923 ketika berumur 21 tahun.[51]

Pada tahun 1925 ia diangkat jadi dosen di Universitas Fribourg dan pada tahun 1929 ia dikukuhkan sebagi guru besar. Pada tahun 1932 ia pindah ke universitas Kingsbourgh dan 2 tahun kemudian ia meninggalkan negrinya jerman untuk mengajar tata bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (universitas Cairo) di Mesir. Ia tinggal di Mesir sampai tahun 1939 sebagai guru besar. Karena meletus perang dunia II Schacht pindah ke Inggris dan belajar lagi di Pasca Sarjana Universitas Oxford. Gelar doktor diraihnya pada tahun 1952. Pada tahun 1954 ia pindah ke Belanda sebagai guru besar di universitas Leiden sampai tahun 1959. Ia pindah lagi ke universitas Columbia New York sebagai guru besar sampai ia meninggal pada tahun 1969.[52]

Adapun karya ilmiah yang pernah ditulisnya adalah The Origins of Muhammad Jurisprudence (Oxford: Claredon Press, 1950), An-Introduction to Islamic Law (Oxford: Claredon Press, 1964), Islamic Law dalam The Encyclopedia of Social Sciences (11932), Pre Islamic Background and Early Development of Jurisprudence dalam Law in Middle East: Original Development (Washington, DC. The Middle East Institute, 1995) dan karya terakhirnya adalah Theology and Law in Islam (Wiesbaden: Otto Harrosowitz, 1997)[53]

Namun karya tulisnya yang monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya The Origins of Muhammad Jurisprudence yang terbit tahun 1950 dan bukunya An-Introduction to Islamic Law yang terbit tahun 1960. [54] Pandangan Josepht Schahct terdapat dalam dua karya tersebut, yang menyajikan hasil kajiannya tentang hadits nabawi, terutama yang berkaitan dengan hukum Islam adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijriyah.[55] Ia mengatakan bahwa cara terbaik untuk membuktikan bahwa suatu hadits tidak pernah ada dalam satu kurun tertentu adalah dengan menunjukkan kenyataan bahwa hadits tidak pernah digunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha, sebab seandainya ada, pasti hal itu dijadikan referensi.[56] Alasan lain adalah para Khulafa al-Rasyidin sebagai pemimpin politik untuk umat Islam akan mengambilnya sebagai sumber hukum yang tertinggi, justru tidak terjadi, malahan mereka mengambil perbuatan-perbuatan mereka sendiri untuk dijadikan rujukan hukum.[57]

Dalam mengkaji Hadits Nabawi, Schacht lebih banyak menyoroti aspek sanad (transmisi, silsilah keguruan) dari pada aspek matan (materi hadits). Sementara kitab-kitab yang dipakai ajang penelitiannya adalah kitab al-Muwatta karya Imam Malik, kitab al-Muwatta karya Imam Muhammad al-Syaibani, serta kitab al-Um dan al-Risalah karya Imam al-ASyafi’i. Menurut Prof. Dr. M.M. Azami, kitab-kitab ini lebih layak disebut kitab-kitab fiqh daripada kitab-kitab hadits. Sebab kedua jenis kitab ini memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, meneliti hadits yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih hasilnya tidak akan tepat, penelitian hadits harus pada kitab-kitab hadits.[58]

Sanad mulai dari sumber pertama sampai yang terakhir, yang atas mereka keaslian sebuah hadits disandarkan menurut Schacht otentisitasnya sangat diragukan. Untuk membuktikan kepalsuan-kepalsuan itu ia lalu menyodorkan teori Projecting back,[59] yaitu menisbahkan (mengaitkan) pendapat para ahli Fiqih abad kedua dan ketiga hijrah kepada tokoh-tokoh terdahulu agar mendapat legitimasi dari orang-orang yang mempunyai otoritas lebih tinggi.[60] Menurutnya Hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w 110 H) penegasan ini memberi pengertian apabila ditemukan hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam, maka itu adalah bikinan orang-orang sesudah al-Sya’bi. Hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama). Para khalifah dulu tidak pernah mengangkat qadhi. Pengangkatan qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Ummayah.[61]

Kira-kira pada akhir abad pertama Hijri (± 715-720 M) pengangkatan qadhi ini ditujukan kepada orang-orang spesialis yang berasal dari kalangan yang taat beragama. Karena jumlah orang-orang spesialis ini kian bertambah, maka akhirnya mereka berkembang menjadi kelompok Aliran Fiqih Klasik. Keputusan-keputusan hukum kepada qadhi memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Karenanya mereka tidak menisbahkan keputusan-keputusan itu kepada dirinya sendiri, melainkan menisbahkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya.[62]

Dalam perkembangan selanjutnya, pendapat-pendapat tersebut tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, melainkan kepada tokoh-tokoh terdahulu sekali, bahkan shahabat dan pada akhirnya pada Nabi Saw. yang memiliki otoritas paling tinggi.[63] Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad hadits menurut Schacht, yaitu dengan memproyeksikan pendapat-pendapat itu kepada tokoh-tokoh dibelakangnya.

Pada bagian lain ia menilai bahwa sanad hadits hanya merupakan semacam pembenaran teoritis terhadap apa yang diyakini sebagai kepercayaan naluriah. Menurutnya munculnya aliran fiqih klasik ini membawa konsekuensi logis, yaitu munculnya kelompok oposisi yang terdiri dari ahli-ahli hadits. Pemikiran dasar ahli hadits ini adalah bahwa hadits yang berasal dari Nabi Saw. harus dapat mengalahkan aturan-aturan yang dibuat ahli fiqih. Untuk mencapai tujuan tersebut kelompok oposisi ini membuat penjelasan hadits seraya mengatakan bahwa hal tersebut pernah dilakukan atau diucapkan oleh Nabi Saw. dengan sanad bersambung dan perawi terpercaya.[64]

C. Bantahan Ulama Terhadap Pandangan Orientalis

Dari pandangan orientalis yang menanggapi keraguan otentisitas hadits yang dilontarkan dua tokoh orientalis tersebut, sedikitnya telah disanggah oleh para ahli Hadits kontemporer. Diantaranya adalah Prof. Dr. Mustafa al-Siba’i (Guru Besar Universitas Damaskus) dalam bukunya al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri al-Islam, Prof. Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dalam bukunya al-Sunnah qabla al-Tadwin, Prof Dr. Muhammad Mustafa Azami (Guru Besar Ilmu Hadits Universitas King Saud Riyadh) dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature.[65]

Bahwa banyak hadits yang diyakini ditulis satu abad setelah wafat nabi tahun 632 ini adalah tidak benar. Ulama Islam seperti Mustafa al-A’zami dan Mustafa As-Syiba’i mengkritik tesis dan fremis orientalis itu. Al-‘Azami berpendapat bahwa para shahabat nabi menuliskan hadits-hadits dan bahwa periwayatannya pun dilakukan secara tertulis hingga hadits-hadits itu dikodifikasikan pada abad ke tiga hijriah. Menurut Tirmidzi, ada beberapa shahabat yang memiliki dokumen hadits antara lain Ibnu Sa’ad Bin Ubadah Al-Ansary, Abdullah bin Abi Aufa, yang menulis shahifah sendiri, dan Samrah bin Zundar. Orang yang pertama menuliskan kitab hadits yang dikenal dengan Ibnu Syihab Az-Zuhri.[66] Selain itu tidak kurang dari 52 shahabat memiliki naskah-naskah catatan hadits. Demikian pula tidak kurang dari 247 Tabi’in (generasi sesudah shahabat) juga memiliki hal serupa.[67]

Mengenai tuduhan terhadap Imam al-Zuhri yang bersekongkol dengan penguasa Umayah dalam memalsukan hadits, Menurut Azami, tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher, bahkan justru sebaliknya. Para ahli tarikh berbeda pendapat tentang kelahiran al-Zuhri, antara 50 sampai 58 H, Al-Zuhri juga belum pernah bertemu dengan Abd al-Malik bin Marwan sebelum tahun 81. Pada tahun 68 orang-orang dari Dinasti Bani Umayah berada di Mekah pada musim haji. Dari Prof. Dr. Azami berkesimpulan bahwa Abd al-Malik bin Marwan baru berfikir untuk membangun Qubbah Sakhra yang konon akan dijadikan pengganti Ka’bah itu pada tahun 68 H.[68]

Apabila demikian halnya, maka al-Zuhri pada saat itu baru berumur 10 sampai 18 tahun. Karenanya sangat tidak logis seorang anak yang baru berumur belasan tahun sudah populer sebagai seorang intelektual dan memiliki reputasi ilmiah di luar daerahnya sendiri, dimana ia mengubah pelaksanaan ibadah haji dari Mekkah ke Jerusalem.[69] Selain itu kata Mustafa As-Syiba’i, bahwa Az-Zuhri bukanlah abdi Umayyah yang taat dan rendah hati, yang segera melakukan apa yang disuruhkan kepadanya, tetapi seorang ulama yang lurus dan teguh yang tak seorang pun pernah mendapati ia mengucapkan kepalsuan yang bertentangan dengan agama atau hati nurani keulamannya.[70]

Argumen lain yang juga meruntuhkan teori Goldziher ini adalah tek Hadits itu sendiri sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih al-Bukhari. Disitu tidak ada satu isyarat pun yang menunjukkan bahwa haji dapat dilakukan di al-Quds (Jerussalem), yang ada hanyalah isyarat pemberian ‘keistimewaan’ kepada Masjid al-Aqsha.[71] Dalam hal ini orientalis memiliki pengetahuan yang terbatas dalam metodologi dan teknik memahami matan hadits. Mereka pada umumnya memahami matan hadits tanpa mempertimbangkan hal-hal dibalik teks.[72] Metode untuk memahami hadits ini namakan “Metode Kesatuan” (al-Munasabah) yang diadopsi dari metode tafsir namun dalam kontek yang lebih luas. Dalam pengoperasiannya metode ini menghubungkan matan hadits dengan matan-matan lainnya. Atau bahkan dengan ayat Qur’an dan riwayat hidup nabi.[73]

Selanjutnya untuk menghancurkan teori Schacht (Projecting back), Azami melakukan penelitian tentang hadits-hadits nabawi, diantaranya naskah milik Suhail bin Abi Shalih (w. 138 H). Abu Shalih adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi s.a.w. Karenanya, sanad (transmisi) Hadits dalam Naskah itu berbentuk : Nabi s.a.w–Abu Hurairah–Abu Shalih – Suhail.[74] Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga (Suhail) jumlah rawi berkisar antara 20 sampai 30 orang. Sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadits yang mereka riwayatkan redaksinya sama.[75] Maka azami berkesimpulan, sangat mustahil menurut ukuran situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadits palsu sehingga redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat Hadits, kemudian generasi-generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadits yang mereka buat itu sama.[76]

D. Kontribusi Orientalis Terhadap Hadits

Dalam sejarah yang panjang dikalangan orang Islam, orientalis dikenal sebagai orang Barat yang menekuni masalah-masalah yang berhubungan dengan Islam, dengan berbagai kajian ketimuran, baik konsumsi politik penjajahan maupun dalam bentuk penelitian ilmiah yang terselubung dengan membawa misi kristenisasi, zionesme dan sebagainya.

Walaupun demikian, masih terdapat orientalis yang hanya menggunakan pendekatan ilmiah atau setengah ilmiah, khususnya ketika pengkajian Islam di berbagai lembaga di Barat tidak lagi dibawah organisasi keagamaan atau fakultas teologi, dan setelah orientalis tidak lagi sepenuhnya berasaal dari kalangan tokoh-tokoh agama semata. Ini secara khusus dalam perkembangan terakhir orientalisme mengenai Islam.[77]

Dari kalangan inilah lahir hasil karya yang banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan kajian Islam dikalangan muslim dan bukan muslim. Saham terbesar adalah karya dalam bidang penyusunan berbagai indeks, kamus, leksikon dan ensiklopedi secara kolektif dan perorangan.

Kontribusi karya orientalis yang banyak digunakan ilmuwan dan ulama Islam khususnya dalam bidang hadits adalah indek hadits Consordance et Indices da la Traadition Musulmane, dibawah asuhan orientalis Belanda A.J. Wensinck, terdiri atas 7 jilid.[78]

Hingga sekarang belum ada indeks hadits yang lebih baik dan sistematis, disusun berdasarkan kitab-kitab hadits yang digunakan umat Islam, terutama Kutubus Sittah. Dengan mempergunakan indeks ini, kita dapat mencari perawi sebuah hadits, kutipan pokok “matan” (teks) hadits dan dalam kitab mana kita dapat menemukannya. Ini sangat penting, mengingat matan hadits tidak dapat di cek kebenarannya secara mudah seperti mengecek kebenaran ayat Al-Qur’an.

Dalam indeks ini, kita tidak lagi direpotkan untuk meneliti satu persatu daftar isi semua kitab hadits untuk menemukan hadits yang dicari, tetapi cukup dengan mencari pokok atau kata kunci dalam sebuah hadits, kemudian dapat dicari langsung pada sumber yang ditunjukkannya.[79] Kesulitan kecil yang ditemukan adalah indeks ini disusun berdasarkan kitab-kitab hadits sebelum tahun 1939, sementara kitab-kitab hadits tersebut telah diterbitkan lagi dalam berbagai edisi, sehingga kadang-kadang, halaman dan jilid buku hadits yang ditunjuk oleh indeks tidak lagi persis. Selain itu akhir-akhir ini telah terbit kitab-kitab yang menyaring kembali hadits-hadits menurut shahih dan dha’ifnya, seperti beberapa jilid tebal oleh Nashiruddin Al-Albani.

PENUTUP

Berdasarkan paparan di atas, bahwa di dunia Islam pemaknaan orientalis mengalami penyempitan objek bahasan. Orientalis dipahami sebagai pengkajian Islam menurut orang Barat atau sarjana lainnya yang berkiblat ke Barat. Pengkajian yang dilakukan lebih cenderung berkiblat ke Barat dengan etnosentrisnya, orientalisme dalam dunia Islam kemudian juga dipahami sebagai gazwah al-fikr dari diskursus Barat dalam upaya melemahkan nilai-nilai dan semangat keagamaan umat Islam.

Goldziher dan Schacht sebagai orientalis yang terkemuka dan berpengaruh memiliki pandangan bahwa hadits itu diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi s.aw. menurut mereka hadits adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijriyah setelah Nabi Muhammad SAW wafat, bukan berasal dan tidak asli dari beliau, dengan alasan ketidakmungkinan keshahihan hadits dalam masyarakat Islam pada abad pertama, kemudian Goldziher menawarkan metodenya dengan menggunakan kritik matan. Sementara menurut Schacht sanad mulai dari sumber pertama sampai yang terakhir, yang atas mereka keaslian sebuah hadits disandarkan pada Nabi SAW menurut otentisitasnya sangat diragukan. Untuk membuktikan kepalsuan-kepalsuan itu ia lalu menyodorkan teori Projecting back.

Sanggahan-sanggahan dilakukan oleh para Ulama hadits untuk merontokkan teori-teori mereka. Dan ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan bahwa adanya sekumpulan subjektivitas paradoks dari keduanya sebagai orientalis yang setidaknya menyimpan misi-misi tersendiri untuk menyudutkan Islam dibalik kacamata orientalisme, yang sesungguhnya merupakan neo-kolonialisme atas belahan dunia Timur, khususnya kawasan Islam. Kemudian mereka memiliki kemampuan yang terbatas dalam metodologi dan teknik memahami hadits dengan tanpa mempertimbangkan hal-hal lain dibalik maksud dari hadits tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Tajul, The Application Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its Validity, Critique to the Critique of Orientalis, (Bandung, Inaugural Speech), 2009

Ash Shiddieqy, M. Hasybi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang:

Pustaka Rizki Putra), 1999

Buchari, Mannan, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah), 2006

Darmalaksana, Wahyudin, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press), 2004

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve), 2002

E. Said, Edward, Orientalisme, (Bandung: Pustaka), 2001

Hanafi, A., Orientalis Ditinjau Menurut Kacamata Agama (Qur’an dan Hadits), (Jakarta: Pustaka Al-Husna), 1981

Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang),

1992

Juyhnbool, G.H.A., The Authenticity of Tradition Literature Discussions in Modern Egypt, terj. Ilyas Hasan, (Bandung : Mizan), 1999

Khoirul Asfiyak, Otentisitas Hadits Di Mata Orientalist (http://fai-unisma-malang.blogspot.com, 20 Oktober 2009

Maufur, Mustolah, Orientalisme; Serbuan Ideologis dan Intelektual, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar), 1995

Munawar, Hadits, Dalam Pandangan Orientalis, (http://moenawar.multiply.com /journal/ item/5), Selasa, 20 Oktober 2009

Syamsuddin Arif, Orientalis Menggugat Hadits, http://www.inpasonline.com,

21 Oktober 2009

Sou’yb, Joesoef , Orientalisme dan Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang), 1995

Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadits, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus), 1996



[1] M. Hasybi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999) Cet. IV) hlm. 154

[2] Ibid.

[3] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). Hlm. 28

[4] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1996), Cet. 2, hlm. 8

[5] Syamsuddin Arif, Orientalis Menggugat Hadits, http://www.inpasonline.com, 21 Oktober 2009

[6] Ibid

[7] Tajul Arifin, The Application Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its Validity, Critique to the Critique of Orientalis, (Bandung, Inaugural Speech, 2009). Hlm 11

[8] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 8

[9] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 11

[10] Ibid, hlm. ix

[11] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 8

[12] Ibid, hlm. 9

[13] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), jil. 4, hlm. 55

[14] Mustolah Maufur, Orientalisme; Serbuan Ideologis dan Intelektual, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995), hlm. 11

[15] Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995) cet. 3 hlm 1

[16] Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah, 2006), Cet 1, hlm. 7

[17] Mustolah Maufur, Orientalisme; Serbuan Ideologis dan Intelektual, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995), hlm. 11

[18] Edward E. Said, Orientalisme, (Bandung: Pustaka, 2001), cet. IV, hlm 2-3

[19] Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995) cet. 3 hlm 2

[20] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), jil. 4, hlm. 55

[21] Joesoef Sou’yb, Op. Cit. hlm 1

[22] A. Hanafi, Orientalis Ditinjau Menurut Kacamata Agama (Qur’an dan Hadits), (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1981), hlm 8

[23] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 55

[24] Ibid, hlm 65

[25] Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah, 2006), Cet 1, hlm. 14

[26] Ibid, hlm. 14-16

[27] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 9

[28] Ibid, hlm. 10

[29] Ibid, hlm. 81

[30] Tajul Arifin, The Application Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its Validity, Critique to the Critique of Orientalis, (Bandung, Inaugural Speech, 2009). hlm 11

[31] Munawar, Hadits, Dalam Pandangan Orientalis, (http://moenawar.multiply.com/journal/ item/5), Selasa, 20 Oktober 2009

[32] Tajul Arifin, Op. Cit. hlm, 7

[33] G.H.A. Juyhnbool, The Authenticity of Tradition Literature Discussions in Modern Egypt,, trj. Ilyas Hasan (Bandung : Mizan, 1999), hlm 202

[34] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 14

[35] Wahyudin Darmalaksana, Op. Cit, hlm. 92

[36] Ali Mustafa Yaqub, Op. Cit. hlm. 14

[37] Khoirul Asfiyak, Otentisitas Hadits Di Mata Orientalist (http://fai-unisma-malang. blogspot. com). tanggal 21 Oktober 2009

[38] Ali Mustafa Yaqub, Op. Cit, hlm. 14

[39] G.H.A. Juyhnbool, The Authenticity of Tradition Literature Discussions in Modern Egypt, trj. Ilyas Hasan (Bandung : Mizan, 1999), hlm 153

[40] Syamsuddin Arif, Orientalis Menggugat Hadits http://www.inpasonline.com/ tanggal 21 Oktober 2009

[41] Khoirul Asfiyak, Otentisitas Hadits Di Mata Orientalist (http://fai-unisma-malang. blogspot. com. 20 Oktober 2009)

[42] Syamsuddin Arif , Op. Cit.

[43] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 97

[44] Ibid, hlm.97-98

[45] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 15

[46] Ibid

[47] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 100

[48] Ali Mustafa Yaqub, Op. Cit, hlm 15

[49] Ibid

[50] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 103

[51] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 19

[52] Ibid

[53] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press), hlm. 110

[54] Ali Mustafa Yaqub, Op. Cit, hlm. 20

[55] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2, hlm. 20

[56] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm 114

[57] Ibid

[58] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 21

[59] Wahyudin Darmalaksana, Op. Cit, hlm. 115

[60] Ali Mustafa Yaqub, Op.cit, hlm. 27

[61] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 21

[62] Ibid

[63] Ibid, hlm. 116

[64] Ibid, hlm 117

[65] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 16

[66] Tajul Arifin, The Application Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its Validity, Critique to the Critique of Orientalis, (Bandung, Inaugural Speech, 2009), hlm 5-6

[67] Ali Mustafa Yaqub, Op. Cit, hlm. 30

[68] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 16

[69] Ibid

[70] G.H.A. Juyhnbool, Kontroversi Hadits di Mesir, (Bandung : Mizan, 1999), hlm 160

[71] Mustafa Yaqub, Op. Cit, hlm 17

[72] Tajul Arifin, The Application Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its Validity, Critique to the Critique of Orientalis, (Bandung, Inaugural Speech, 2009), hlm 18

[73] Ibid, hlm 10

[74] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 28

[75] Ibid

[76] Ibid

[77] Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah, 2006), Cet 1, hlm. 110

[78] Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah, 2006), Cet 1, hlm. 110

[79] Ibid, hlm. 111

2 komentar: